oleh: P. William P. Saunders *
Saya selalu bertanya-tanya mengenai busana liturgis yang dikenakan imam dalam perayaan Misa. Mohon penjelasan.
~ seorang pembaca di Sterling
Busana-busana liturgis yang dikenakan dalam perayaan Misa mengalami perkembangan seturut berjalannya waktu. Namun demikian, sejak masa-masa awali Gereja, busana liturgis telah dikenakan oleh para imam untuk merayakan Misa. Walau para imam dari Perjanjian Lama mengenakan busana liturgis dalam ritus-ritus liturgis mereka, namun busana-busana liturgis “Kristiani” tidak sungguh diambil dari sana; tetapi, busana-busana liturgis Kristiani ini merupakan perkembangan dari busana Graeco-Romawi, termasuk budaya religiusnya. Meski begitu, gagasan dari Perjanjian Lama mengenai suatu busana khusus yang harus dikenakan dalam melaksanakan ritus-ritus liturgis sungguh mempengaruhi Gereja. St Hieronimus menegaskan, “Agama Ilahi memiliki satu busana dalam pelayanan hal-hal kudus, dan busana lain dalam interaksi dan hidup sehari-hari.” Setelah disahkannya kekristenan pada tahun 313M, Gereja terus menyempurnakan “siapa mengenakan apa, bilamana, dan bagaimana” hingga sekitar tahun 800 ketika norma-norma liturgis perihal busana pada dasarnya distandarisasi dan tetap sama hingga pembaharuan sesudah Konsili Vatikan Kedua.
Sekarang ini, untuk perayaan Misa, seorang imam mengenakan amik, alba, single, stola dan kasula.
AMIK, Tanda Perlindungan
Amik adalah selembar kain lenan putih berbentuk segi empat dengan dua tali panjang di dua ujungnya. Imam mengenakannya sekeliling leher, menutupi bahu dan pundak, menyilangkan kedua tali di depan (membentuk salib St Andreas), dan lalu membawa tali ke belakang punggung, melilitkannya sekeliling pinggang dan mengikatkannya dengan suatu simpul. Tujuan praktis amik adalah untuk menutupi jubah biasa imam, dan untuk menyerap keringat dari kepala dan leher. Di kalangan Graeco-Romawi, amik adalah penutup kepala, seringkali dikenakan di bawah topi baja para prajurit Romawi untuk menyerap keringat, dengan demikian mencegah keringat menetes ke mata. Tujuan rohani amik adalah mengingatkan imam akan nasehat St Paulus, “Terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah” (Ef 6:17).
Doa ketika mengenakan amik:
“Tuhan, letakkanlah pelindung keselamatan pada kepalaku untuk menangkis segala serangan setan.”
ALBA, Citra Kekudusan
Alba adalah pakaian putih panjang hingga sebatas pergelangan kaki, dan memiliki lengan panjang hingga pergelangan tangan. Kata “alba” dalam bahasa Latin artinya “putih”. Alba adalah pakaian luar yang umum dikenakan di kalangan Graeco-Romawi dan mirip dengan soutane yang dikenakan di Timur Tengah. Tetapi, mereka yang berwenang mengenakan alba dengan kualitas yang lebih baik dengan aneka sulaman atau gambar. Beberapa alba modern memiliki kerah sehingga amik tidak diperlukan lagi. Tujuan rohani alba adalah mengingatkan imam akan pembaptisannya, saat kain putih diselubungkan padanya guna melambangkan kemerdekaannya dari dosa, kemurnian hidup baru, dan martabat Kristiani. Di samping itu, Kitab Wahyu menggambarkan para kudus yang berdiri sekeliling altar Anak Domba di surga sebagai “Orang-orang yang keluar dari kesusahan yang besar; dan mereka telah mencuci jubah mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba” (7:14). Demikian pula imam wajib mempersembahkan Misa dengan kemurnian tubuh dan jiwa, dan dengan kelayakan martabat imamat Kristus. Di beberapa negara tropis, termasuk Indonesia, jika tidak ada alba, maka dapat dipakai jubah yang berwarna putih.
Doa ketika mengenakan alba:
“Sucikanlah aku, ya Tuhan, dan bersihkanlah hatiku, agar aku boleh menikmati kebahagiaan kekal karena telah dibasuh dalam darah Anak Domba.”
SINGEL, Tali Kesucian
Singel adalah tali yang tebal dan panjang dengan jumbai-jumbai pada kedua ujungnya, yang diikatkan sekeliling pinggang untuk mengencangkan / merapikan alba. Singel merupakan simbol nilai kemurnian hati dan pengekangan diri. Singel dapat berwarna putih atau sesuai dengan warna masa liturginya. Di kalangan Graeco-Romawi, singel adalah bagaikan ikat pinggang. Tujuan rohani singel adalah mengingatkan imam akan nasehat St Petrus, “Sebab itu siapkanlah akal budimu, waspadalah dan letakkanlah pengharapanmu seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan kepadamu pada waktu penyataan Yesus Kristus. Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu” (1 Pet 1:13-15).
Doa ketika mengenakan singel:
“Tuhan, kuatkanlah aku dengan tali kesucian ini dan padamkanlah hasrat ragawiku, agar kebajikan pengekangan diri dan kemurnian hati dapat tinggal dalam diriku.”
STOLA, Lambang Penugasan Resmi
Stola adalah semacam selendang panjang, kira-kira 4 inci (± 10 cm) lebarnya, warnanya sama dengan kasula, yang dikalungkan pada leher. Stola diikatkan di pinggang dengan singel. Stola merupakan simbol bahwa pemakainya sedang melaksanakan tugas resmi Gereja, terutama menyangkut tugas pengudusan (imamat). Secara khusus, sesuai dengan doa ketika mengenakannya, stola dimaknai sebagai simbol kekekalan. Sebelum pembaharuan Konsili Vatikan Kedua, stola disilangkan di dada imam untuk melambangkan salib. Stola juga berasal dari budaya masa lampau. Para rabi mengenakan selendang doa dengan jumbai-jumbai sebagai tanda otoritas mereka. Stola yang disilangkan juga merupakan simbolisme dari ikat pinggang bersilang yang dikenakan para prajurit Romawi: satu ikat pinggang dengan pedang di pinggang, dan ikat pinggang lainnya dengan kantong perbekalan, misalnya air dan makanan. Dalam arti ini, stola mengingatkan imam bukan hanya pada otoritas dan martabatnya sebagai imam, melainkan juga tugas kewajibannya untuk mewartakan Sabda Allah dengan gagah berani dan penuh keyakinan (“Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun” Ibr 4:12) dan untuk melayani kebutuhan umat beriman. Sekarang, imam mengenakan stola yang dikalungkan pada leher dan ujungnya dibiarkan menggantung, tidak disilangkan. Stola yang sempit biasanya dikenakan di dalam kasula, sedangkan stola yang lebar dikenakan di atas kasula.
Doa ketika mengenakan stola:
“Ya Tuhan, kenakanlah kembali stola kekekalan ini, yang telah hilang karena perbuatan para leluhur kami, dan perkenankanlah aku meraih hidup kekal meski aku tak pantas menghampiri misteri-Mu yang suci.”
KASULA, Lambang Cinta dan Pengorbanan
Kasula, disebut juga planeta, adalah pakaian luar yang dikenakan di atas alba dan stola. Kasula merupakan busana khas imam, khususnya selebran dan konselebran utama, yang dipakai untuk memimpin Perayaan Ekaristi. Kasula melambangkan keutamaan cinta kasih dan ketulusan untuk melaksanakan tugas yang penuh pengorbanan diri bagi Tuhan. Selama berabad-abad model kasula telah mengalami beberapa perubahan dan variasi. Kasula berasal dari kata Latin “casula” yang artinya “rumah”; kasula di kalangan Graeco-Romawi serupa sebuah mantol tanpa lengan yang sepenuhnya menutupi tubuh dan melindungi si pemakai dari cuaca buruk. Tujuan rohani kasula adalah mengingatkan imam akan kasih dan pengurbanan Kristus, “Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (Kol 3:14).
Doa ketika mengenakan kasula:
“Ya Tuhan, Engkau pernah bersabda: `kuk yang Ku-pasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.' Buatlah aku sanggup mengenakan pakaian ini agar dapat memperoleh rahmatmu. Amin.”
Pada Abad Pertengahan, muncul dua interpretasi populer mengenai makna busana liturgis ini. Interpretasi yang paling umum menafsirkan busana liturgis sebagai simbol sengsara Yesus: kain yang digunakan prajurit untuk menutup muka-Nya (amik) dan jubah (alba) sementara Ia diolok-olok dan disesah; tali-temali dan belenggu (singel) yang membelenggu-Nya sepanjang penderaan; salib (stola) yang Ia panggul; dan jubah tak berjahit (kasula) yang atasnya para prajurit membuang undi. Interpretasi lain yang juga populer lebih berfokus pada busana itu dari asal-usulnya yang dari militer Romawi, yang dipandang sebagai simbol imam sebagai laskar Kristus yang berperang melawan dosa dan setan.
Pada intinya, busana-busana liturgis yang dikenakan dalam perayaan Misa memiliki dua tujuan utama. Pertama, “Gereja adalah Tubuh Kristus. Dalam Tubuh itu tidak semua anggota menjalankan tugas yang sama. Dalam perayaan Ekaristi, tugas yang berbeda-beda itu dinyatakan lewat busana liturgis yang berbeda-beda. Jadi, busana itu hendaknya menandakan tugas khusus masing-masing pelayan. Di samping itu, busana liturgis juga menambah keindahan perayaan liturgis” (Pedoman Umum Misale Romawi No. 335). Kedua, busana liturgis mengilhami imam dan semua umat beriman untuk merenungkan arti simboliknya yang kaya makna.
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College in Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: Liturgical Vestments” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2001 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
tambahan : “Simbol-Simbol Sekitar Perayaan Ekaristi: Busana Liturgis”; Pamflet Liturgi M3 Mengalami, Merawat, Menarikan Liturgi; diterbitkan oleh ILSKI (Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia)
gambar : “Vestments” by Father Peffley; Father Peffley's Web Site; www.transporter.com/fatherpeffley
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”