Pages

Subscribe:
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Jumat, 11 Januari 2013

Tertidurnya Maria

oleh: P. William P. Saunders *

Saya menyetel Channel 118 untuk mengikuti program Rosario. Ketika imam sampai pada misteri keempat, “Maria Diangkat ke Surga,” mereka memperlihatkan pemandangan sebuah gereja di Israel yang diberi nama “Tertidurnya Maria.” Di sana terdapat sebuah patung Bunda Maria yang tertidur dan sebuah makam kosong. Saya belum pernah mendengar tentang tertidurnya Maria. Mohon penjelasan.
~ seorang pembaca ACH

Istilah “Tertidurnya Maria” (bahasa Latin “dormire” artinya tidur) dapat menyesatkan sebab seolah lebih terfokus pada wafat dan pemakaman Bunda Maria. Keyakinan seputar tertidurnya Maria pada hakekatnya berhubungan dengan diangkatnya Santa Perawan Maria, badan dan jiwa, ke surga. Dengan jawaban pendahuluan seperti di atas, kita perlu meninjau kembali Dogma Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga dan bagaimana dogma ini berhubungan dengan “Tertidurnya Maria”.

Memang, peristiwa Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga tidak dicatat dalam Kitab Suci. Sebab itu, banyak kaum fundamentalis yang menafsirkan Kitab Suci secara harafiah akan mengalami kesulitan dalam memahami keyakinan ini. Namun demikian, pertama-tama kita patut berdiam diri dan merenungkan peran Bunda Maria dalam misteri keselamatan, sebab inilah yang menjadi dasar dari keyakinan Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga.

Kita percaya teguh bahwa sejak dari awal mula perkandungannya, karena kasih karunia istimewa dari Allah Yang Mahakuasa, Maria bebas dari segala noda dosa, termasuk dosa asal. Malaikat Agung St Gabriel mengenali Maria sebagai “penuh rahmat,” “terpuji di antara perempuan,” dan “bersatu dengan Tuhan.” Maria telah dipilih untuk menjadi Bunda Juruselamat kita. Dari kuasa Roh Kudus, ia mengandung Tuhan kita, Yesus Kristus, dan melalui dia, sungguh Allah menjadi juga sungguh manusia, “Sabda itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yoh 1:14).

Sepanjang masa hidupnya, walau catatan dalam Injil amat terbatas, Maria senantiasa menghadirkan Tuhan kita kepada yang lain: kepada Elisabet dan puteranya, Yohanes Pembaptis, yang melonjak kegirangan dalam rahim ibundanya atas kehadiran Tuhan yang masih berada dalam rahim BundaNya; kepada para gembala yang sederhana dan juga kepada para majus yang bijaksana; pula kepada warga Kana ketika Tuhan kita meluluskan kehendak BundaNya dan melakukan mukjizat-Nya yang pertama. Terlebih lagi, Maria berdiri di kaki salib bersama Putranya, memberi-Nya dukungan dan berbagi penderitaan dengan-Nya lewat kasihnya seperti yang hanya dapat diberikan oleh seorang ibunda. Dan akhirnya, Maria ada bersama para rasul pada hari Pentakosta ketika Roh Kudus turun dan Gereja dilahirkan. Sebab itu, masing-masing dari kita dapat melihat serta merenungkan Maria sebagai hamba Allah yang setia, yang ikut ambil bagian secara intim dalam kelahiran, kehidupan, wafat dan kebangkitan Tuhan kita.

Karena alasan-alasan ini, kita percaya bahwa janji Tuhan yang diberikan kepada setiap kita akan keikutsertaan dalam hidup yang kekal, termasuk kebangkitan badan, digenapi dalam diri Maria. Sebab Maria bebas diri dosa asal dan segala konsekuensinya (salah satunya adalah kerusakan badan setelah kematian), sebab ia ikut ambil bagian secara intim dalam hidup Tuhan dan dalam sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya, dan sebab ia ada saat Pentakosta, maka model dari pengikut Kristus ini sungguh pantas ikut ambil bagian dalam kebangkitan badan dan kemuliaan Tuhan di akhir hidupnya.

Berdasarkan pemahaman ini, Paus Pius XII dengan khidmad memaklumkan dalam Munificentissimus Deus tanggal 1 November 1950, bahwa “Bunda Allah yang Tak Bernoda Dosa, Maria yang tetap perawan selamanya, sesudah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, diangkat memasuki kemuliaan di surga beserta badan dan jiwanya.” Patut dicatat bahwa definisi khidmad tersebut tidak menjelaskan apakah Maria wafat secara fisik sebelum diangkat ke surga atau langsung diangkat ke surga; hanya dikatakan, “Maria, sesudah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia ….”

Jadi apakah Bunda Maria wafat terlebih dahulu sebelum diangkat ke surga? Apakah ia “tertidur”? Apakah ia dimakamkan? Gereja tidak mengikat kita pada suatu jawab tertentu sebab tradisi mengenainya kurang jelas. Dalam suatu kumpulan kisah apokrif berjudul Transitus Mariae (Perjalanan Maria), yang dianggap sebagai tulisan Uskup St. Melito dari Sardis (wafat ±thn 200), Bunda Maria wafat dihadapan para rasul di Yerusalem, dan kemudian menurut kisah tersebut, tubuhnya menghilang begitu saja, atau dimakamkan dan kemudian menghilang.

St Yohanes Damaskus (wafat 749) juga menuliskan suatu kisah yang menarik sehubungan dengan SP Maria Diangkat ke Surga, “St Juvenal, Uskup Yerusalem, dalam Konsili Kalsedon (451), memberitahukan kepada Kaisar Marcian dan Pulcheria, yang ingin memiliki tubuh Bunda Allah, bahwa Maria wafat di hadapan segenap para rasul, tetapi bahwa makamnya, ketika dibuka atas permintaan St Thomas, didapati kosong; dari situlah para rasul berkesimpulan bahwa tubuhnya telah diangkat ke surga.”

Namun demikian, kisah-kisah ini janganlah lebih diutamakan dari dasar teologis mengenai keyakinan kita akan Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga. Sebaliknya, patutlah kita ingat bahwa para Bapa Gereja membela dogma SP Maria Diangkat ke Surga dengan dua alasan: Sebab Maria bebas dari noda dosa dan tetap perawan selamanya, ia tidak mengalami kerusakan badan, yang adalah akibat dari dosa asal, setelah wafatnya. Juga, jika Maria mengandung Kristus dan memainkan peran yang akrab mesra sebagai BundaNya dalam penebusan manusia, maka pastilah juga ia ikut ambil bagian badan dan jiwa dalam kebangkitan dan kemuliaan-Nya.

Namun demikian, kisah-kisah saleh mempopulerkan istilah “tertidur,” merenungkan bahwa Maria di akhir hidupnya “tertidur” dan kemudian diangkat ke dalam kemuliaan surga. Kaisar Byzantine Mauritius (582-602) menetapkan perayaan Tertidurnya Santa Perawan Maria pada tanggal 15 Agustus bagi Gereja Timur demi memperingati wafat dan diangkatnya Santa Perawan Maria ke surga. (Sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa perayaan ini telah tersebar luas sebelum Konsili Efesus pada tahun 431.) Pada akhir abad keenam, Gereja Barat juga merayakannya dengan nama SP Maria Diangkat ke Surga.

Entah kita mempergunakan istilah “tertidur” atau “diangkat ke surga,” keyakinan dasarnya tetap sama. Katekismus, dengan mengutip Liturgi Byzantine, memaklumkan, “Terangkatnya Perawan tersuci adalah satu keikutsertaan yang istimewa pada kebangkitan Putranya dan satu antisipasi dari kebangkitan warga-warga Kristen yang lain. `Pada waktu persalinan engkau tetap mempertahankan keperawananmu, pada waktu meninggal, engkau tidak meninggalkan dunia ini, ya Bunda Allah. Engkau telah kembali ke sumber kehidupan, engkau yang telah menerima Allah yang hidup dan yang akan membebaskan jiwa-jiwa kami dari kematian dengan doa-doamu'” (No 966).

Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga memberikan kepada masing-masing kita pengharapan besar sementara kita merenungkan satu sisi ini dari Bunda Maria. Maria menggerakkan kita dengan teladan dan doa agar bertumbuh dalam rahmat Tuhan, agar berserah pada kehendak-Nya, agar mengubah hidup kita melalui kurban dan penitensi, dan mencari persatuan abadi dalam kerajaan surga. Pada tahun 1973, Konferensi Waligereja Katolik dalam surat “Lihatlah Bundamu” memaklumkan, “Kristus telah bangkit dari mati; kita tidak membutuhkan kepastian lebih lanjut akan iman kita ini. Maria diangkat ke surga lebih merupakan suatu pengingat bagi Gereja bahwa Tuhan kita menghendaki agar mereka semua yang telah diberikan Bapa kepada-Nya dibangkitkan bersama-Nya. Dalam Maria diangkat ke dalam kemuliaan, ke dalam persatuan dengan Kristus, Gereja melihat dirinya menjawab undangan dari Mempelai surgawi.”


* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College in Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: The Dormition of Mary” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2001 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Kontroversi Makam Yesus

oleh: P. A. Luluk Widyawan, Pr *

Baru-baru ini di situs www.discovery.com ditampilkan penemuan situs makam Yesus dan Keluarga Kudus. Penemuan itu tepatnya di Yerusalem. Majalah Haarlems Dagblad, terbitan tanggal 23 Februari 2007 lalu menginformasikan lebih jelas. Terbitan itu memuat laporan seorang pembuat film dokumenter asal Kanada. Dalam jumpa pers ia berkeyakinan telah menemukan kuburan dari Yesus asal Nasareth. Ia meyakinkan bahwa penyelidikan tersebut telah memakan waktu yang cukup lama. Penyelidikan itu bahkan dilakukan oleh tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu, diantaranya para arkeolog, ahli sejarah, pakar tulisan kuno dan spesialis DNA.

Dalam laporan penelitian dikatakan, kuburan yang ditemukan tersebut berada di Talpiot, yang masih dalam wilayah Yerusalem. Didalam gua kecil yang dipercaya sebagai kuburan tersebut, team peneliti menemukan 10 sisa-sisa dari peti mati; di mana tertulis nama-nama di atas sisa-sisa peti tersebut. Nama-nama yang ditemukan diantaranya: Yesus, anak Yosef, Yudah, anak Yesus dan dua kali nama Maria, yang dimaksud adalah Maria Magdalena, dan Maria ibu Yesus. Tak heran, penemuan menghebohkan ini segera menjadi headline harian nasional Israel, Yediot Ahronot.


Aneka Reaksi

Entah sampai kapan, Gereja harus menghadapi aneka kontroversi. Sejak dulu selalu ada kontoversi, jauh sebelum heboh buku The Da Vinci Code karya Dan Brown. Kontroversi teori tentang Yudas sebagai pembuka jalan bagi Yesus menuju kebangkitan yang menyelamatkan yang muncul tahun 2006 lalu, hingga kini penemuan makan Yesus.

Sebenarnya penemuan gua sebagai makam Yesus bukanlah hal yang baru. Gua tersebut telah ditemukan pada tahun 1980. Sejak saat itu dilakukan penyelidikan terus-menerus. Hasilnya adalah film dokumenter berjudul “The Burial Cave Of Jezus” yang dirilis sebagai kerjasama dari Simcha Jacobovici (pemuat film asal Kanada tetapi berdarah Israel), dan James Cameron (pemenang tiga piala Oscar, dan pembuat film Titanic dan The Terminator). Film dokumenter ini, rencananya dalam waktu dekat akan ditayangkan di World Discovery Channel. Di Minggu bulan Maret 2007, tepat di masa menjelang peringatan Paskah, akan dilaksanakan konferensi pers di New York. Bukan tidak mungkin waktu yang tepat dan isu yang menarik, justru akan membuat film tersebut makin laris.

Namun, Amos Kloner, arkeolog asal Israel yang juga terlibat langsung dalam team penelitian gua tua tersebut justru berkomentar, “Memang, tampaknya seperti cerita yang bagus. Tetapi untuk menyebut bahwa penemuan itu sebagai makam Yesus, bukti-bukti yang ada amatlah sedikit.” Karena menurutnya, nama-nama yang ditemukan dalam peti tersebut bukan hal yang istimewa. Sejak 2000 tahun yang lalu, sudah hal yang biasa memberikan nama-nama tersebut bagi orang-orang Yahudi, katanya kepada majalah Haarlems Dagblad. Sementara Paul Verhoeven, sutradara flm asal Belanda, yang juga bekerja di Hollywood mengatakan, “Memang indah untuk menikmati khayalan seperti itu.”


Teori Dan Iman Gereja

Harus diakui, Injil memuat pewartaan mengenai Sabda dan Karya Yesus, yang dapat disebut semacam riwayat hidup Yesus. Injil memuat pula informasi yang ada kaitannya dengan segi kesejarahan tentang kelahiran-Nya, tentang pewartaan-Nya, termasuk juga tentang sengsara, wafat dan yang paling penting, tentang kebangkitan-Nya.

Ada banyak sekali hal, yang dalam Injil hanya dikemukakan secara sangat samar-samar, karena maksud Injil ditulis memang pertama-tama bukan sebagai catatan sejarah, tetapi sebagai pewartaan. Misalnya maksud Injil Yohanes ditulis dalam Yoh 20:30, “Memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan mata murid-murid-Nya, yang tidak tercatat dalam kitab ini, tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesus-lah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.”

Berkaitan dengan kesejarahan Injil pada khususnya dan Kitab Suci pada umumnya, sikap Gereja jelas. Dei Verbum No. 19. menyebutkan kesejarahan memang penting sekali. Sebab jika tidak, iman kepercayaan kita akan menjadi seperti apa yang dikemukakan Petrus atau Paulus: yakni iman yang hanya didasarkan atas isapan jempol (bdk. 2 Ptr 1:16) atau pada dongeng nenek-nenek tua (bdk. 1Tim 4:7). Data-data sejarah yang termasuk (karena tidak dimaksudkan sebagai tujuan pertama dan utama) dalam pewartaan sabda dan karya Yesus (terutama dalam Injil-injil), banyak sekali yang kemudian dijadikan obyek dan pintu masuk penelitian para ahli, di masa kini. Tentu demi memenuhi rasa ingin tahu dan mencari kebenaran sejarah. Misalnya, sebagaimana pertanyaan yang selalu menginspirasi para ahli semacam tentang bintang yang tampak pada saat kelahiran Yesus. Apakah itu? Komet? Atau meteor? Lalu mereka mulai menyelidiki, entah berdasarkan perhitungan astronomis dapat diidentifikasikan adanya lintasan suatu badan angkasa yang begitu mendekati bumi pada waktu itu. Kapan waktu itu? Pada masa pemerintahan Kaisar Agustus (bdk. Luk 2:1). Kapan persisnya? Pada waktu Kireneus menjabat Wali Negeri di Syria (bdk. Luk 2:2) dan berbagai pertanyaan kritis dan detil lainnya. Pada akhirnya para ahli berteori atau berhipotesa bahwa bintang yang nampak terang benderang pada waktu Yesus lahir itu adalah Comet Halley, atau teori dan hipotesa lainnya, yang beraneka.

Begitu juga tentang tempat Yesus dilahirkan, yang rupanya pasti tidak di suatu rumah (bdk Luk 2:7), tetapi di sebuah tempat tinggal binatang, karena Ia dibaringkan di palungan. Karena pada waktu itu para gembala biasa berteduh bersama ternaknya di gua-gua, maka dicarilah gua di sekitar Bethlehem yang berdasarkan data-data lain. Juga didukung dengan data dari tradisi lisan maupun tradisi tulisan, yang mungkin menjadi petunjuk tempat kelahiran Yesus. Maka orang sampai pada teori dan hipotesa tentang salah satu gua di sana: inilah tempat Yesus dilahirkan. Biasanya, kalau sudah ada teori atau hipotesa sedemikian, apalagi kalau itu sangat mungkin, dan tidak ada argumen atau bukti sebaliknya yang melawannya, orang menerimanya. Tetapi sebagai teori dan hipotesa, bukan sebagai kepastian yang tak dapat diganggu-gugat.

Begitulah yang terjadi tentang makam Yesus. Kitab Suci memuat informasi, bahwa Yesus wafat (bdk. Mat 27:50; Mrk 15:37; Luk 23:46: Yoh 19:30.33-34). Ia dikuburkan (bdk. Mat 27:59-60; Mrk 15:46; Luk 23:53; Yoh 19:42). Sekarang di Yerusalem ada suatu tempat yang dipercaya sebagai kubur Yesus (tempatnya ada di dalam Gereja Makam Yesus) yang menjadi tempat peziarahan terkenal. Pastilah tempat tersebut sejak tahun-tahun pertama kekristenan diteorikan dan dihipotesekan sebagai kubur Yesus dan diterima sebagai yang paling mungkin dan masuk akal.

Teori dan hipotese tersebut tak menjadi masalah. Namun, apakah itu memang makam tempat jenazah Yesus dulu pernah dibaringkan? Tidak ada seorang pun yang bisa memastikannya. Oleh karena itu pencarian kepastian inilah yang diharapkan bisa diperoleh dan boleh tetap berjalan terus. Berbagai penemuan pernah dilaporkan, tentu saja dengan berbagai bukti yang konon tidak bisa dibantah lagi. Namun muncul juga banyak sanggahan dan keberatan terhadap teori atau hipotesa itu. Dan omong kosong sajalah penemuan baru dengan bukti dan data-data itu.

Sekalipun banyak teori, hipotesa, penemuan dan bukti-bukti baru yang muncul, sikap resmi Gereja terkesan tidak terlalu pusing. Karena pada akhirnya aneka penemuan baru tidak mengubah iman kepercayaan kepada Yesus, kebangkitan-Nya dan lain-lain. Memang harus diwaspadai, justru pokok iman inilah yang sering dijadikan sasaran akhir dari aneka teori, hipotesa, penemuan dan bukti-bukti baru.

Penemuan makam Yesus dijadikan alasan, misalnya, untuk menolak percaya kepada Yesus, menolak kebangkitan-Nya, ke-Allah-an-Nya dan lain sebagainya. Karena, ada orang yang memang berusaha untuk mematahkan iman kepercayaan kepada Yesus. Jalan pikirannya sederhana: jika bisa menemukan makam Yesus dan di sana ditemukan tulang-belulang, maka Yesus tidak bangkit, Yesus bukan Allah dan seterusnya. Tak jarang, argumen menentang iman ini disertai dengan kutipan dari Injil supaya lebih meyakinkan. Misalnya memakai kutipan Injil tentang Yesus yang bangkit hanya diberitakan bahwa makam-Nya kosong (bdk. Mat 28; Mrk 16; Luk 24; Yoh 20). Data makam kosong pun dapat menjadi alasan orang berteori dan berhipotesa bahwa Yesus tidak dikuburkan di situ atau Yesus tidak mati, tidak bangkit, maka Yesus bukan Allah, dan lain sebagainya.

Teori, hipotesa, penemuan dan bukti-bukti baru yang muncul sekali lagi tidak perlu memusingkan dan mengubah iman Gereja. Sekalipun banyak teori, hipotesa, penemuan dan bukti-bukti baru selalu ada muncul argumen penentangnya dengan teori, hipotesa, penemuan dan bukti-bukti pula.

Harus diakui, dalam sejarah Gereja berabad-abad lamanya, Gereja sudah biasa mendapat berbagai pendapat yang seolah-olah memojokkan dan menyulitkan Gereja. Di era yang sangat modern maka, siapapun, lewat cara apapun dapat mengajukan teori, hipotesa, penemuan dan bukti-bukti baru. Juga dengan bumbu sensasional. Namun Gereja tak mungkin dan tak perlu menanggapi semuanya. Gereja juga menghargai kebebasan berpendapat. Jika terbukti secara meyakinkan bahwa teori, hipotesa, penemuan dan bukti-bukti baru, dalam hal ini tentang makam itu, benar makam Yesus, tetaplah bukan sebuah argumen yang melawan iman Gereja. Iman Gereja adalah satu keyakinan dan yang terpenting, Yesus telah bangkit. Selamat Paskah 2007.

* Imam Praja Keuskupan Surabaya, tinggal di Ponorogo.
sumber : Luluk Widyawan' s Page; http://lulukwidyawanpr.blogspot.com (yesaya.indocell.net)

Jam Suci

Jam Suci (Holly Hour) bertujuan untuk menemani Yesus dalam doa dan sakrat maut-Nya di Taman Getsemani.

Pada malam terakhir itu Yesus berkata kepada ketiga rasul-Nya yang terpilih: Petrus, Yohanes dan Yakobus. “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku. (Mat 26:38). Tetapi ketiga rasul itu gagal memenuhi permintaan Yesus. Mata mereka sudah berat lalu mereka tertidur. Apa reaksi Yesus? Dia menegur mereka katanya, Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam saja dengan Aku!” (Mat 26:40).

Dalam suatu penampakan kepada Santa Margareta Maria Alacoque pada tanggal 2 Juli 1674, Yesus mengatakan kepadanya, “Setiap Kamis, malam Jumat, Aku akan membuat engkau ikut ambil bagian dalam kesedihan sampai mati seperti yang Ku-rasakan Sendiri di Bukit Zaitun. Kesedihan itu akan memasukkan engkau dengan cara yang tak terpahami bagimu dalam sakrat maut yang lebih berat rasanya daripada maut itu sendiri. Maka, hendaknya engkau bangun malam hari antara jam sebelas dan tengah malam untuk menemani Aku dalam doa yang Ku-panjatkan dengan penuh kerendahan hati kepada Bapa dalam keadaan takut dan ngeri yang hebat. Dalam doa itu engkau akan sujud bersama-Ku sampai ke tanah untuk meredakan murka Ilahi sambil memohon belas kasihan bagi orang-orang berdosa. Juga untuk sekedar mengurangi kekecewaan-Ku ketika ditinggalkan oleh para rasul-Ku, sehingga terpaksa menegur mereka karena tak sanggup berjaga-jaga satu jam saja bersama-Ku. Selama satu jam itu hendaknya engkau melakukan apa yang akan Ku-ajarkan kepadamu.”

Sekarang Jam Suci biasa dilakukan pada malam Jumat Pertama, dimulai jam 23.00 atau jika perlu, lebih awal. Jam Suci bisa dilakukan sebagai devosi pribadi ataupun devosi kelompok. Sedapat mungkin dilakukan di gereja atau di kapel, di depan tabernakel atau di depan pentahtaan Sakramen Mahakudus.

Acara pokok Jam Suci adalah merenungkan sengsara Kristus, baik lahir maupun batin, serta merenungkan segala dosa dan penderitaan dunia yang telah ditebus oleh-Nya. Dalam kelompok, Jam Suci diawali dengan pembacaan Kitab Suci yang sesuai, renungan, saat hening untuk doa batin para peserta, serta biasanya diselingi dengan doa dan nyanyian bersama.

Dalam liturgi, Jam Suci dilakukan pada hari Kamis Putih, sesudah Upacara Mengenangkan Perjamuan Tuhan serta pemindahan Sakramen Mahakudus ke tempat penyimpanan. Umat diberi kesempatan mengadakan tuguran di depan Sakramen Mahakudus hingga tengah malam.

sumber : Lembar Acara Pekan Suci, Paroki Gembala Yang Baik (yesaya.indocell.net)

Kamis, 10 Januari 2013

Mengapa Kitab Suci Katolik Mempunyai Jumlah Kitab Lebih Banyak daripada Kitab Suci Protestan?

Oleh P. Richard Lonsdale
Kitab Suci Katolik terdiri dari 72 kitab (45 kitab PL + 27 kitab PB), sementara kebanyakan Kitab Suci Protestan hanya terdiri dari 66 kitab. Kitab yang hanya terdapat dalam Kitab Suci Katolik semuanya merupakan bagian dari Perjanjian Lama. Selain itu terdapat juga beberapa ayat dalam kitab-kitab tertentu yang hanya terdapat dalam Kitab Suci Katolik. Mengapa terjadi perbedaan demikian? Jawabannya amat rumit, tetapi secara sederhana dapat dijelaskan seperti berikut ini.

Orang-orang Yahudi menulis Perjanjian Lama, tetapi mereka tidak secara "resmi" menuliskan daftar atau kanon dari kitab-kitab tersebut sampai akhir abad kedua. Sekelompok orang Yahudi khawatir kalau-kalau pada akhirnya tulisan-tulisan Kristen juga akan dimasukkan orang ke dalam kanon mereka. Untuk mencegah hal tersebut, setelah melalui debat yang panjang, mereka memutuskan untuk mencantumkan hanya kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Ibrani saja yang termasuk dalam kanon mereka. Dengan demikian mereka dapat mengeluarkan kitab-kitab Kristen yang semuanya ditulis dalam bahasa Yunani. Namun demikian, ada pula beberapa bagian dari kitab Perjanjian Lama yang hanya tersedia salinannya dalam bahasa Yunani, sedangkan kitab aslinya yang ditulis dalam bahasa Ibrani telah hilang. Dengan demikian kitab-kitab tersebut, yang dulunya juga mereka terima, ikut dikeluarkan dari kanon Yahudi.

Gereja Katolik tidak mengikuti keputusan mereka. Terutama karena beberapa kitab yang ditulis dalam bahasa Yunani mendukung doktrin (doktrin = ajaran) Katolik, misalnya tentang Roh Kudus. Gereja Katolik tidak membuat daftar atau kanon resmi sampai beberapa abad kemudian. Sejak awal mula Gereja Katolik menerima semua kitab yang sekarang ada dalam Kitab Suci kita.

Pada abad ke-16, Gereja Protestan mulai mempergunakan Kitab Suci sebagai dasar ajaran mereka. Martin Luther menolak semua kitab yang tidak terdapat dalam kanon Perjanjian Lama Yahudi. Alasan penolakannya adalah karena beberapa bagian dari kitab-kitab tersebut tidak mendukung ajarannya. Seperti misalnya, Luther tidak setuju dengan ajaran Gereja Katolik mengenai Api Penyucian. Padahal gagasan tentang api penyucian terdapat dalam Kitab Makabe II. Selanjutnya Luther juga mencoba mengeluarkan beberapa kitab Perjanjian Baru, misalnya Surat Yakobus. Beberapa gagasan dalam surat Yakobus tidak sesuai dengan ajaran Luther, misalnya tentang ajaran Luther yang menyatakan bahwa perbuatan baik tidak diperlukan dalam memperoleh keselamatan, melainkan hanya iman. Tetapi, pada akhirnya, ia harus memasukkan juga Surat Yakobus dalam kanonnya.

Kitab-kitab Perjanjian Lama yang diakui baik oleh Gereja Katolik maupun Gereja Protestan disebut Protokanonika (protokanonika: kanon yang pertama). Kitab-kitab Perjanjian Lama yang diakui oleh Gereja Katolik tetapi tidak diakui oleh Gereja Protestan di tempatkan di bagian antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Bagian ini oleh Gereja Katolik disebut Deuterokanonika (deuterokanonika: kanon yang kedua), sedang oleh Gereja Protestan disebut Apokrip (apokrip : buku-buku keagamaan yang baik untuk dibaca tetapi tidak diilhami Roh Kudus).

Hingga kini Gereja Katolik terus mempertahankan serta menghormati kitab-kitab seperti yang telah diterima oleh Gereja Kristen Purba. Jika Kitab Suci yang mereka wariskan itu baik bagi mereka, tentu baik pula bagi kita. Coba bacalah kisah menarik tentang Tobit, dan coba baca juga nasehat-nasehat berharga dalam Kitab Kebijaksanaan di Kitab Suci Katolik-mu.


sumber: P. Richard Lonsdale; Catholic1 Publishing Company; www.catholic1.com
tambahan: P. Dr. H. Pidyarto O.Carm; “Mempertanggungjawabkan Iman Katolik buku kesatu”
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Richard Lonsdale.”

Rabu, 02 Januari 2013

Nama Yesus Yang Tersuci

oleh: P. William P. Saunders *
Saya ambil bagian dalam perayaan Misa dan terkejut ketika pada tanggal 3 Januari imam mengumumkan bahwa hari itu adalah Pesta Nama Yesus yang Tersuci. Di paroki saya juga ada Serikat Nama Yesus yang Tersuci. Bagaimanakah asal mula perayaan ini?
~ Seorang pembaca di Fairfax Station   

Penghormatan kepada Nama Tersuci Tuhan kita, Yesus Kristus, dimulai sejak jaman para rasul. St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi menulis, “supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp 2:10-11). Sama seperti setiap nama memberikan identitas kepada pemiliknya serta mencerminkan hidup pribadinya, nama Yesus mengingatkan orang akan siapa Yesus serta apa yang telah Ia lakukan bagi kita. Patut diingat bahwa nama “Yesus” berarti “Tuhan menyelamatkan” atau “Tuhan adalah keselamatan.”

Dengan menyerukan nama Kristus dengan khidmat dan dalam iman, orang berpaling kepada-Nya dan mohon dengan sangat pertolongan ilahi-Nya. Sebuah buku rohani tua menyebutkan empat ganjaran istimewa bagi mereka yang menyerukan Nama Yesus yang Tersuci: Pertama, nama Yesus membawa pertolongan dalam kebutuhan fisik. Yesus Sendiri berjanji pada saat Kenaikan-Nya, “Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka, mereka akan memegang ular, dan sekalipun mereka minum racun maut, mereka tidak akan mendapat celaka; mereka akan meletakkan tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh.” (Mrk 16:17-18). Setelah Pentakosta, St. Petrus dan St. Yohanes pergi ke Bait Allah untuk berkhotbah dan mendapati seorang lumpuh yang mengemis; St. Petrus memerintahkan, “Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah!” dan orang lumpuh itu pun mulai berjalan (Kis 3:1-10). Dengan menyerukan nama Yesus, St. Petrus juga menyembuhkan Eneas (Kis 9:32 dst).

Kedua, nama Yesus membawa pertolongan dalam pencobaan-pencobaan rohani. Yesus mengampuni dosa, dan melalui penyeruan Nama Yesus yang Tersuci, dosa-dosa akan terus diampuni. Pada hari Pentakosta, St. Petrus menggemakan nubuat Nabi Yoel, “Dan barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan.” (Kis 2:21), pengajaran serupa diserukan oleh St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma (Rm 10:13). Sementara St. Stefanus, martir pertama, dilempari batu, ia menyerukan nama Kristus dan berdoa, “Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku.” (Kis 7:59). St. Thomas More, sementara menanti eksekusinya, menulis kepada putrinya, Margareta, “Aku tidak akan meragukan-Nya, Meg, meskipun aku merasa diriku semakin lemah dan diliputi ketakutan yang sangat. Aku ingat bagaimana Santo Petrus, karena merasakan hembusan angin, mulai tenggelam karena kurang iman, dan aku akan melakukan seperti apa yang dilakukannya: berseru kepada Kristus dan berdoa mohon pertolongan-Nya. Dan kemudian aku percaya Ia akan menumpangkan tangan-Nya yang kudus atasku dan mengangkatku dari badai laut.”

Ketiga, nama Yesus melindungi orang dari setan dan pencobaan-pencobaannya. Yesus, dengan kuasa-Nya Sendiri, mengusir setan-setan (misalnya di Gadara (Mat 8:28-34)). Dengan menyerukan Nama Yesus yang Tersuci, setan akan dikalahkan.

Dan yang terakhir, kita menerima setiap rahmat dan berkat melalui Nama Yesus yang Tersuci. Yesus bersabda, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu minta kepada Bapa, akan diberikan-Nya kepadamu dalam nama-Ku. Sampai sekarang kamu belum meminta sesuatupun dalam nama-Ku. Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu.” (Yoh 16:23-24). Ringkasnya, St. Paulus mengatakan, “Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.” (Kol 3:17).

St. Bernardinus dari Sienna (1380-1444) dan muridnya, St. Yohanes dari Capestrano (1386-1456) menyebarluaskan devosi kepada Nama Yesus yang Tersuci. Dalam khotbah-khotbah misi mereka di segenap penjuru Italia, mereka membawa sebuah monogram Nama Yesus yang Tersuci dikelilingi cahaya. Menurut asalnya, monogram IHS merupakan singkatan nama Yesus dalam bahasa Yunani: I dan H mewakili Iota dan Eta, yaitu dua huruf pertama dari nama-Nya; dan S, Sigma, huruf terakhir. (Tradisi sesudahnya mempergunakan lambang IHS untuk melambangkan bahasa Latin “Iesus Hominum Salvator”, yang artinya “Yesus Juruselamat Manusia”). St. Bernardinus dan St. Yohanes memberkati kaum beriman dengan monogram ini, serta dengan menyerukan nama Yesus, dan banyak mukjizat terjadi. Mereka juga mendorong orang banyak agar menempatkan monogram ini di gerbang-gerbang kota dan di pintu-pintu masuk rumah mereka. Guna menepis penolakan sebagian orang yang menganggap penghormatan tersebut sebagai takhayul, Paus Martinus V pada tahun 1427 merestui penghormatan yang layak bagi Nama Yesus yang Tersuci dan minta agar dalam monogram IHS ditambahkan salib. Pada tahun 1455, Paus Kalistus III meminta St. Yohanes untuk menyampaikan khotbah kepada para laskar agar menyerukan Nama Yesus yang Tersuci saat berperang melawan bala tentara Muslim Turki yang tangguh yang memporak-porandakan Eropa Timur; kemenangan dicapai dengan mengalahkan mereka dalam Pertempuran di Belgrade pada tahun 1456.

Pada tahun 1597, Paus Sixtus V memberikan indulgensi kepada siapa yang dengan hormat mendaraskan, “Terpujilah Yesus Kristus!” Paus Cement VII pada tahun 1530 mengijinkan para Fransiskan merayakan pesta demi menghormati Nama Yesus yang Tersuci, dan Paus Inosensius XIII menyebarluaskan devosi ini kepada seluruh Gereja univeral pada tahun 1721; pestanya dirayakan pada hari Minggu antara tanggal 1 hingga 6 Januari, atau pada tanggal 2 Januari. (Sayangnya, pesta ini dihilangkan dalam revisi kalender liturgi pada tahun 1969 oleh Paus Paulus VI). Paus Pius IX pada tahun 1862 merestui Litani Nama Yesus yang Tersuci, yang kemudian oleh Paus Leo XIII disebarluaskan bagi seluruh Gereja karena ia “… begitu rindu menyaksikan meningkatnya devosi kepada Nama Yesus yang Tersuci di antara umat beriman, terutama dalam masa ketika nama mahamulia ini dicemooh dan dilecehkan.”  

Paus Yohanes Paulus II menetapkan kembali Pesta Nama Yesus yang Tersuci agar dirayakan pada tanggal 3 Januari. Di samping itu, seruan dalam iman kepada Nama Yesus yang Tersuci sebagai bagian dari doa atau karya, dan pendarasan Litani Nama Yesus yang Tersuci masih memperoleh indulgensi sebagian bagi pemulihan dosa. Juga, Serikat Nama Yesus yang Tersuci, yang didirikan pertama kali pada tahun 1274 dan memperoleh status serikatnya pada tahun 1564, di tingkat paroki dan keuskupan terus menggalakkan penghormatan kepada nama Yesus, melakukan silih bagi dosa carut-marut dan hujat terhadap Nama Yesus yang Tersuci, dan pengudusan pribadi bagi para anggotanya.

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: The Holy Name of Jesus” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2003 Arlington Catholic Herald.  All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Senin, 31 Desember 2012

Busana Liturgis Imam Dalam Misa

oleh: P. William P. Saunders *


Saya selalu bertanya-tanya mengenai busana liturgis yang dikenakan imam dalam perayaan Misa. Mohon penjelasan.
~ seorang pembaca di Sterling


Busana-busana liturgis yang dikenakan dalam perayaan Misa mengalami perkembangan seturut berjalannya waktu. Namun demikian, sejak masa-masa awali Gereja, busana liturgis telah dikenakan oleh para imam untuk merayakan Misa. Walau para imam dari Perjanjian Lama mengenakan busana liturgis dalam ritus-ritus liturgis mereka, namun busana-busana liturgis “Kristiani” tidak sungguh diambil dari sana; tetapi, busana-busana liturgis Kristiani ini merupakan perkembangan dari busana Graeco-Romawi, termasuk budaya religiusnya. Meski begitu, gagasan dari Perjanjian Lama mengenai suatu busana khusus yang harus dikenakan dalam melaksanakan ritus-ritus liturgis sungguh mempengaruhi Gereja. St Hieronimus menegaskan, “Agama Ilahi memiliki satu busana dalam pelayanan hal-hal kudus, dan busana lain dalam interaksi dan hidup sehari-hari.” Setelah disahkannya kekristenan pada tahun 313M, Gereja terus menyempurnakan “siapa mengenakan apa, bilamana, dan bagaimana” hingga sekitar tahun 800 ketika norma-norma liturgis perihal busana pada dasarnya distandarisasi dan tetap sama hingga pembaharuan sesudah Konsili Vatikan Kedua.

Sekarang ini, untuk perayaan Misa, seorang imam mengenakan amik, alba, single, stola dan kasula.


AMIK, Tanda Perlindungan

Amik adalah selembar kain lenan putih berbentuk segi empat dengan dua tali panjang di dua ujungnya. Imam mengenakannya sekeliling leher, menutupi bahu dan pundak, menyilangkan kedua tali di depan (membentuk salib St Andreas), dan lalu membawa tali ke belakang punggung, melilitkannya sekeliling pinggang dan mengikatkannya dengan suatu simpul. Tujuan praktis amik adalah untuk menutupi jubah biasa imam, dan untuk menyerap keringat dari kepala dan leher. Di kalangan Graeco-Romawi, amik adalah penutup kepala, seringkali dikenakan di bawah topi baja para prajurit Romawi untuk menyerap keringat, dengan demikian mencegah keringat menetes ke mata. Tujuan rohani amik adalah mengingatkan imam akan nasehat St Paulus, “Terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah” (Ef 6:17).

Doa ketika mengenakan amik:
“Tuhan, letakkanlah pelindung keselamatan pada kepalaku untuk menangkis segala serangan setan.”


ALBA, Citra Kekudusan

Alba adalah pakaian putih panjang hingga sebatas pergelangan kaki, dan memiliki lengan panjang hingga pergelangan tangan. Kata “alba” dalam bahasa Latin artinya “putih”. Alba adalah pakaian luar yang umum dikenakan di kalangan Graeco-Romawi dan mirip dengan soutane yang dikenakan di Timur Tengah. Tetapi, mereka yang berwenang mengenakan alba dengan kualitas yang lebih baik dengan aneka sulaman atau gambar. Beberapa alba modern memiliki kerah sehingga amik tidak diperlukan lagi. Tujuan rohani alba adalah mengingatkan imam akan pembaptisannya, saat kain putih diselubungkan padanya guna melambangkan kemerdekaannya dari dosa, kemurnian hidup baru, dan martabat Kristiani. Di samping itu, Kitab Wahyu menggambarkan para kudus yang berdiri sekeliling altar Anak Domba di surga sebagai “Orang-orang yang keluar dari kesusahan yang besar; dan mereka telah mencuci jubah mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba” (7:14). Demikian pula imam wajib mempersembahkan Misa dengan kemurnian tubuh dan jiwa, dan dengan kelayakan martabat imamat Kristus. Di beberapa negara tropis, termasuk Indonesia, jika tidak ada alba, maka dapat dipakai jubah yang berwarna putih.

Doa ketika mengenakan alba:
“Sucikanlah aku, ya Tuhan, dan bersihkanlah hatiku, agar aku boleh menikmati kebahagiaan kekal karena telah dibasuh dalam darah Anak Domba.”


SINGEL, Tali Kesucian

Singel adalah tali yang tebal dan panjang dengan jumbai-jumbai pada kedua ujungnya, yang diikatkan sekeliling pinggang untuk mengencangkan / merapikan alba. Singel merupakan simbol nilai kemurnian hati dan pengekangan diri. Singel dapat berwarna putih atau sesuai dengan warna masa liturginya. Di kalangan Graeco-Romawi, singel adalah bagaikan ikat pinggang. Tujuan rohani singel adalah mengingatkan imam akan nasehat St Petrus, Sebab itu siapkanlah akal budimu, waspadalah dan letakkanlah pengharapanmu seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan kepadamu pada waktu penyataan Yesus Kristus. Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu” (1 Pet 1:13-15).

Doa ketika mengenakan singel:
“Tuhan, kuatkanlah aku dengan tali kesucian ini dan padamkanlah hasrat ragawiku, agar kebajikan pengekangan diri dan kemurnian hati dapat tinggal dalam diriku.”


STOLA, Lambang Penugasan Resmi

Stola adalah semacam selendang panjang, kira-kira 4 inci (± 10 cm) lebarnya, warnanya sama dengan kasula, yang dikalungkan pada leher. Stola diikatkan di pinggang dengan singel. Stola merupakan simbol bahwa pemakainya sedang melaksanakan tugas resmi Gereja, terutama menyangkut tugas pengudusan (imamat). Secara khusus, sesuai dengan doa ketika mengenakannya, stola dimaknai sebagai simbol kekekalan. Sebelum pembaharuan Konsili Vatikan Kedua, stola disilangkan di dada imam untuk melambangkan salib. Stola juga berasal dari budaya masa lampau. Para rabi mengenakan selendang doa dengan jumbai-jumbai sebagai tanda otoritas mereka. Stola yang disilangkan juga merupakan simbolisme dari ikat pinggang bersilang yang dikenakan para prajurit Romawi: satu ikat pinggang dengan pedang di pinggang, dan ikat pinggang lainnya dengan kantong perbekalan, misalnya air dan makanan. Dalam arti ini, stola mengingatkan imam bukan hanya pada otoritas dan martabatnya sebagai imam, melainkan juga tugas kewajibannya untuk mewartakan Sabda Allah dengan gagah berani dan penuh keyakinan (“Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun” Ibr 4:12) dan untuk melayani kebutuhan umat beriman. Sekarang, imam mengenakan stola yang dikalungkan pada leher dan ujungnya dibiarkan menggantung, tidak disilangkan. Stola yang sempit biasanya dikenakan di dalam kasula, sedangkan stola yang lebar dikenakan di atas kasula.

Doa ketika mengenakan stola:
“Ya Tuhan, kenakanlah kembali stola kekekalan ini, yang telah hilang karena perbuatan para leluhur kami, dan perkenankanlah aku meraih hidup kekal meski aku tak pantas menghampiri misteri-Mu yang suci.”


KASULA, Lambang Cinta dan Pengorbanan

Kasula, disebut juga planeta, adalah pakaian luar yang dikenakan di atas alba dan stola. Kasula merupakan busana khas imam, khususnya selebran dan konselebran utama, yang dipakai untuk memimpin Perayaan Ekaristi. Kasula melambangkan keutamaan cinta kasih dan ketulusan untuk melaksanakan tugas yang penuh pengorbanan diri bagi Tuhan. Selama berabad-abad model kasula telah mengalami beberapa perubahan dan variasi. Kasula berasal dari kata Latin “casula” yang artinya “rumah”; kasula di kalangan Graeco-Romawi serupa sebuah mantol tanpa lengan yang sepenuhnya menutupi tubuh dan melindungi si pemakai dari cuaca buruk. Tujuan rohani kasula adalah mengingatkan imam akan kasih dan pengurbanan Kristus, “Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (Kol 3:14).

Doa ketika mengenakan kasula:
“Ya Tuhan, Engkau pernah bersabda: `kuk yang Ku-pasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.' Buatlah aku sanggup mengenakan pakaian ini agar dapat memperoleh rahmatmu. Amin.”


Pada Abad Pertengahan, muncul dua interpretasi populer mengenai makna busana liturgis ini. Interpretasi yang paling umum menafsirkan busana liturgis sebagai simbol sengsara Yesus: kain yang digunakan prajurit untuk menutup muka-Nya (amik) dan jubah (alba) sementara Ia diolok-olok dan disesah; tali-temali dan belenggu (singel) yang membelenggu-Nya sepanjang penderaan; salib (stola) yang Ia panggul; dan jubah tak berjahit (kasula) yang atasnya para prajurit membuang undi. Interpretasi lain yang juga populer lebih berfokus pada busana itu dari asal-usulnya yang dari militer Romawi, yang dipandang sebagai simbol imam sebagai laskar Kristus yang berperang melawan dosa dan setan.

Pada intinya, busana-busana liturgis yang dikenakan dalam perayaan Misa memiliki dua tujuan utama. Pertama, “Gereja adalah Tubuh Kristus. Dalam Tubuh itu tidak semua anggota menjalankan tugas yang sama. Dalam perayaan Ekaristi, tugas yang berbeda-beda itu dinyatakan lewat busana liturgis yang berbeda-beda. Jadi, busana itu hendaknya menandakan tugas khusus masing-masing pelayan. Di samping itu, busana liturgis juga menambah keindahan perayaan liturgis” (Pedoman Umum Misale Romawi No. 335). Kedua, busana liturgis mengilhami imam dan semua umat beriman untuk merenungkan arti simboliknya yang kaya makna.

* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College in Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: Liturgical Vestments” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2001 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
tambahan : “Simbol-Simbol Sekitar Perayaan Ekaristi: Busana Liturgis”; Pamflet Liturgi M3 Mengalami, Merawat, Menarikan Liturgi; diterbitkan oleh ILSKI (Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia)
gambar : “Vestments” by Father Peffley; Father Peffley's Web Site; www.transporter.com/fatherpeffley
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Wahai Perjamuan Yang Mulia dan Mengagumkan

oleh St Thomas Aquinas, Imam (1225 - 1274)

Oleh sebab adalah kehendak Putra Tunggal Allah bahwa manusia ikut ambil bagian dalam keilahian-Nya, maka Ia mengenakan kodrat kita agar dengan menjadi manusia Ia dapat mengilahikan manusia. Pula, ketika Ia mengambil daging kita, Ia mempersembahkan segenap kemanusiaan-Nya itu demi keselamatan kita. Ia mempersembahkan Tubuh-Nya kepada Allah Bapa di atas altar salib sebagai kurban demi pendamaian kita. Ia mencurahkan Darah-Nya demi penebusan dan pemurnian kita, agar kita dapat ditebus dari belenggu perbudakan dan dibasuh dari segala dosa. Tetapi, demi memastikan agar kenangan akan anugerah yang demikian agung itu tetap tinggal bersama kita selamanya, Ia meninggalkan Tubuh-Nya sebagai makanan dan Darah-Nya sebagai minuman umat beriman agar disantap dalam rupa roti dan anggur.

Wahai perjamuan yang mulia dan mengagumkan, yang mendatangkan keselamatan bagi kita dan yang sarat dengan segala kemanisan! Adakah sesuatu yang memiliki nilai intrinsik lebih daripada ini? Di bawah hukum lama, daging lembu dan kambing yang dipersembahkan; tetapi di sini Kristus Sendiri, Allah yang benar, disajikan di hadapan kita sebagai makanan kita. Adakah sesuatu yang lebih mengagumkan daripada ini? Tak ada sakramen lain yang memiliki kuasa penyembuhan lebih besar daripada Ekaristi; melalui Ekaristi dosa-dosa diampuni, keutamaan-keutamaan ditingkatkan, dan jiwa diperkaya dengan aneka karunia rohani yang berlimpah. Ekaristi dipersembahkan di Gereja bagi mereka yang hidup dan yang mati, sehingga apa yang ditetapkan bagi keselamatan semua orang dapat mendatangkan manfaat bagi semuanya. Namun, pada akhirnya, tak seorang pun dapat dengan sepenuhnya mengungkapkan kemanisan sakramen ini, di mana sukacita rohani dicecap hingga ke akarnya, dan di mana kita memperbaharui kenangan akan kasih mahaunggul Kristus bagi kita seperti dinyatakan dalam sengsara-Nya.

Adalah demi menanamkan kemaharahiman kasih ini dengan lebih teguh dalam hati umat beriman, maka Tuhan kita menetapkan Sakramen Ekaristi pada Perjamuan Malam Terakhir. Sebab Ia hendak meninggalkan dunia untuk pergi kepada Bapa, setelah merayakan Paskah bersama para murid-Nya, Ia meninggalkannya sebagai kenangan abadi akan sengsara-Nya. Ekaristi adalah kegenapan dari pralambang di masa lampau dan yang teragung dari segala mukjizat-Nya, sementara bagi mereka yang akan mengalami dukacita atas kepergian-Nya, Ekaristi ditetapkan untuk menjadi suatu penghiburan yang unik, yang tinggal abadi di tengah-tengah mereka.




PERAYAAN MISA MENURUT PARA KUDUS

 “Oh, betapa misteri yang mengagumkam terjadi sepanjang Misa Kudus! … Suatu hari kelak kita akan tahu apa yang diperbuat Allah bagi kita di setiap Misa, dan karunia-karunia apa saja yang Ia persiapkan bagi kita dalam Misa. Hanya kasih ilahi-Nya yang memungkinkan karunia yang sedemikian itu dianugerahkan kepada kita… sumber kehidupan ini memancar dengan segala kemanisan dan kuasa…”
~ St Faustina Kowalska

“Tak ada yang begitu membahagiakan, begitu merasuki hati, begitu menggetarkan, begitu menguasai jiwa, seperti Misa, yang dipersembahkan di antara kita. Aku dapat ikut ambil bagian dalam Misa untuk selamanya, dan tidak menjadi lelah. Misa bukanlah sekedar kata-kata belaka; melainkan suatu tindakan yang agung. Tindakan yang paling luhur yang dapat dilakukan di dunia. Misa adalah … menghadirkan Yang Kekal.”
~ Ven. Kardinal Yohanes Henry Newman

 “Ikutlah ambil bagian dalam Misa setiap hari; maka sepanjang harimu akan berhasil baik. Segala tugas kewajibanmu akan terselenggara dengan lebih baik, dan jiwamu akan lebih dikuatkan dalam menanggung salibnya setiap hari. Misa adalah tindakan religius yang paling agung mulia; engkau tak dapat melakukan suatu pun yang dapat mendatangkan kemuliaan yang lebih besar kepada Tuhan sekaligus mendatangkan lebih banyak manfaat bagi jiwamu selain dari ikut ambil bagian dalam Misa dengan kerap dan saleh. Misa adalah sembah sujud kesukaan para kudus.”
~ St Petrus Yulianus Eymard
Dikutip dari : yesaya.indocell.net

Santa Perawan Maria Bunda Allah

oleh: Paus Yohanes Paulus II
Audiensi Umum, 27 November 1996
1. Renungan akan misteri kelahiran sang Juruselamat telah menghantar umat Kristiani bukan hanya untuk mengenali Santa Perawan sebagai Bunda Yesus, melainkan juga untuk mengenalinya sebagai Bunda Allah. Kebenaran ini telah ditegaskan serta diterima sebagai harta warisan iman Gereja sejak dari abad-abad awal kekristenan, hingga akhirnya secara resmi dimaklumkan dalam Konsili Efesus pada tahun 431.

Dalam komunitas Kristiani yang pertama, sementara para murid semakin menyadari bahwa Yesus adalah Putra Allah, menjadi semakin nyatalah bahwa Bunda Maria adalah Theotokos, Bunda Allah. Inilah gelar yang tidak muncul secara eksplisit dalam ayat-ayat Injil, tetapi dalam ayat-ayat tersebut “Bunda Yesus” disebutkan dan ditegaskan bahwa Yesus adalah Allah (Yoh 20:28; bdk. 5:18; 10:30, 33). Bunda Maria dihadirkan sebagai Bunda Imanuel, yang artinya “Tuhan beserta kita” (bdk. Mat 1:22-23).

Telah sejak dari abad ketiga, seperti dapat disimpulkan dari suatu kesaksian tertulis kuno, umat Kristiani Mesir telah mendaraskan doa ini kepada Bunda Maria, “Kami bergegas datang untuk mohon perlindunganmu, ya Bunda Allah yang kudus, janganlah kiranya engkau mengabaikan permohonan dalam kesesakan kami, tetapi bebaskanlah kami dari segala yang jahat, ya Santa Perawan yang mulia” (dari Buku Ibadat Harian). Istilah Theotokos muncul secara eksplisit untuk pertama kalinya dalam kesaksian kuno ini.

Dalam mitos kafir, seringkali terjadi bahwa seorang dewi tertentu dihadirkan sebagai ibunda dari beberapa dewa. Sebagai contoh, dewa tertinggi, Zeus, memiliki dewi Rhea sebagai ibundanya. Konteks ini mungkin mendorong umat Kristiani untuk mempergunakan gelar “Theotokos”, “Bunda Allah”, bagi Bunda Yesus. Namun demikian, patut dicatat bahwa gelar ini tidak ada sebelumnya, melainkan diciptakan oleh umat Kristiani guna mengungkapkan suatu keyakinan yang tidak ada hubungannya dengan mitos kafir, yaitu keyakinan akan perkandungan Dia, yang senantiasa adalah Sabda Allah yang kekal, dalam rahim Maria yang perawan.

Konsili Efesus memaklumkan Bunda Maria sebagai Bunda Allah

2. Dalam abad keempat, istilah Theotokos biasa dipergunakan baik di Gereja Timur maupun Barat. Devosi dan teologi merujuk lebih dan lebih banyak lagi pada istilah ini, yang sekarang telah menjadi bagian dari warisan iman Gereja.

Oleh karenanya, orang dapat memahami gerakan protes besar yang muncul dalam abad kelima ketika Nestorius menyatakan keraguannya atas kebenaran gelar “Bunda Allah”. Sesungguhnya, berkeyakinan bahwa Bunda Maria hanyalah bunda dari Yesus manusia, ia bersikukuh bahwa “Bunda Kristus” adalah satu-satunya istilah yang benar secara doktrin. Nestorius dihantar pada kesalahan ini karena ketakmampuannya mengakui keutuhan pribadi Kristus dan karena tafsirannya yang salah dalam membuat pemisahan kedua kodrat - kodrat ilahi dan kodrat manusiawi - yang ada dalam Kristus.

Pada tahun 431, Konsili Efesus mengutuk thesisnya dan, dengan menegaskan kodrat ilahi dan kodrat manusiawi dalam satu pribadi Putra, memaklumkan Bunda Maria sebagai Bunda Allah.

3. Sekarang, kesulitan-kesulitan dan keberatan-keberatan yang diajukan oleh Nestorius memberi kita kesempatan untuk melakukan refleksi-refleksi yang berguna demi pemahaman dan penafsiran yang benar atas gelar ini. Istilah Theotokos, yang secara harafiah berarti, “ia yang telah melahirkan Allah,” secara sepintas dapat mengejutkan; sesungguhnya malahan membangkitkan pertanyaan seperti, bagaimana mungkin seorang manusia ciptaan melahirkan Allah. Jawaban atas iman Gereja sangat jelas: Keibuan ilahi Bunda Maria mengacu hanya pada kelahiran Putra Allah sebagai manusia, tetapi bukan pada kelahiran ilahi-Nya. Putra Allah dilahirkan dalam kekekalan oleh Allah Bapa, dan sehakikat dengan-Nya. Bunda Maria, tentu saja tidak ambil bagian dalam kelahiran dalam kekekalan ini. Tetapi, Putra Allah mengambil kodrat manusiawi kita 2000 tahun yang lalu dan dikandung serta dilahirkan oleh Perawan Maria.  

Dengan memaklumkan Bunda Maria sebagai “Bunda Allah”, Gereja bermaksud untuk menegaskan bahwa ia adalah “Bunda dari Inkarnasi Sabda, yang adalah Allah.” Sebab itu, keibuannya tidak diperluas pada keseluruhan pribadi Tritunggal Mahakudus, melainkan hanya pada Pribadi Kedua, Allah Putra, yang dalam berinkarnasi mengambil kodrat manusiawi-Nya dari Maria.

Keibuan merupakan suatu hubungan dari pribadi ke pribadi: seorang ibu bukanlah sekedar ibu ragawi atau ibu secara fisik belaka dari makhluk yang dilahirkan dari rahimnya, melainkan ibu dari pribadi yang dilahirkannya. Karenanya, dengan melahirkan, menurut kodrat manusiawi-Nya, pribadi Yesus, yang adalah pribadi Allah, Bunda Maria adalah Bunda Allah.

Kesediaan Santa Perawan mengawali Peristiwa Inkarnasi

4. Dalam memaklumkan Bunda Maria sebagai “Bunda Allah”, Gereja dalam satu ungkapan menyatakan imannya akan Putra dan Bunda. Kesatuan ini telah dilihat dalam Konsili Efesus; dalam mendefinisikan keibuan ilahi Bunda Maria, para Bapa Gereja bermaksud menegaskan keyakinan mereka akan keilahian Kristus. Walau menghadapi banyak keberatan, baik dulu maupun sekarang, mengenai tepat atau tidaknya dalam menggelari Bunda Maria dengan gelar ini, umat Kristiani sepanjang jaman, dengan menafsirkan secara tepat makna keibuan ini, telah mengungkapan secara istimewa iman mereka akan keilahian Kristus dan akan kasih mereka kepada Santa Perawan.  

Di satu pihak, Gereja memaklumkan Theotokos sebagai jaminan atas realita Inkarnasi sebab - seperti dinyatakan St Agustinus - “jika Bunda fiktif, maka daging akan juga fiktif … dan merupakan corengan terhadap Kebangkitan” (in evangelium Johannis tractatus, 8, 6-7). Di lain pihak, Gereja juga mengkontemplasikan dengan penuh kekaguman dan merayakannya dengan penghormatan anugerah agung luhur yang dianugerahkan kepada Bunda Maria oleh Ia yang menghendaki untuk menjadi Putranya. Ungkapan “Bunda Allah” juga menunjuk pada Sabda Allah, yang dalam Inkarnasi merendahkan diri dalam rupa manusia guna meninggikan manusia sebagai anak-anak Allah. Tetapi dalam terang martabat luhur yang dianugerahkan kepada Perawan dari Nazaret, gelar ini juga memaklumkan kemuliaan perempuan dan panggilannya yang luhur. Sesungguhnya, Tuhan memperlakukan Bunda Maria sebagai pribadi yang bebas dan bertanggung jawab dan tidak mewujud-nyatakan Inkarnasi PutraNya hingga setelah Ia memperoleh kesediaannya.

Mengikuti teladan umat Kristiani perdana dari Mesir, kiranya umat beriman mempercayakan diri kepada dia yang, sebagai Bunda Allah, dapat memperolehkan dari Putra Ilahinya rahmat pembebasan dari yang jahat dan keselamatan kekal.


sumber : Church Proclaims Mary 'Mother of God'” Pope John Paul II; Copyright © 1997 Catholic Information Network (CIN) - 04-14, 2003; www.cin.org

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic Information Network”

Siapakah Para Majus ?

oleh: P. William P. Saunders *

Injil Matius menyebut tentang para majus yang datang dari Timur untuk menyembah bayi Kristus yang baru dilahirkan (bdk. Mat 2:1-12). Tetapi, tepatnya siapakah para majus tersebut tetap merupakan suatu misteri.

Seringkali para majus disebut juga sebagai ahli perbintangan. Dalam bahasa Yunani, bahasa asli Injil, kata “magos” (magoi, jamak) mempunyai empat arti: (1) seorang dari golongan imam Persia kuno, di mana astrologi dan astronomi berperan penting pada masa Kitab Suci; (2) seorang yang memiliki pengetahuan dan kuasa gaib (= okultisme), dan mahir dalam menafsirkan mimpi, perbintangan, ramal, hal-hal klenik, dan perantara roh; (3) seorang ahli nujum; atau (4) seorang dukun, yang memeras orang dengan mempergunakan praktek-praktek di atas. Dari definisi yang mungkin di atas dan dari gambaran dalam Injil, para majus kemungkinan adalah para imam Persia ahli perbintangan yang dapat membaca bintang-bintang, teristimewa makna bintang yang mewartakan kelahiran Mesias. (Bahkan ahli sejarah kuno Herodotus (wafat abad ke-5 SM) menegaskan keahlian kaum imam Persia dalam perbintangan).            

Yang terpenting, kunjungan para majus menggenapi nubuat Perjanjian Lama: Bileam menubuatkan kedatangan Mesias yang akan ditandai dengan sebuah bintang: “Aku melihat dia, tetapi bukan sekarang; aku memandang dia, tetapi bukan dari dekat; bintang terbit dari Yakub, tongkat kerajaan timbul dari Israel…” (Bil 24:17). Mazmur 72 berbicara mengenai bagaimana bangsa kafir akan datang untuk menyembah Mesias: “kiranya raja-raja dari Tarsis dan pulau-pulau membawa persembahan-persembahan, kiranya raja-raja dari Syeba dan Seba menyampaikan upeti! Kiranya semua raja sujud menyembah kepadanya, dan segala bangsa menjadi hambanya!” (Mzm 72:10-11). Yesaya juga menubuatkan persembahan-persembahan: “Sejumlah besar unta akan menutupi daerahmu, unta-unta muda dari Midian dan Efa. Mereka semua akan datang dari Syeba, akan membawa emas dan kemenyan, serta memberitakan perbuatan masyhur TUHAN” (Yes 60:6).

St. Matius mencatat bahwa para majus membawa tiga persembahan; masing-masing persembahan memiliki makna nubuat: emas, persembahan bagi seorang raja; kemenyan, persembahan bagi seorang imam; dan mur - balsam penguburan, persembahan bagi seorang yang akan meninggal. St. Ireneus (wafat 202) dalam tulisannya Adversus haereses menyampaikan tafsiran atas persembahan emas, kemenyan dan mur sebagai berikut: Raja, Tuhan dan Penebus yang Menderita, juga menafsirkannya sebagai keutamaan, doa dan penderitaan.

Pada umumnya, kita berpikiran bahwa ketiga majus tersebut adalah tiga orang raja. Kita biasa menempatkan patung tiga raja di gua natal kita. Kita bahkan menyanyikan, “Kami tiga raja dari Timur….” Di sini, ketiga persembahan, Mazmur 72 dan bintang yang terbit di Timur secara bersama-sama menggambarkan para majus sebagai tiga raja yang datang dari Timur.

Sebenarnya, tradisi awali tidak konsisten mengenai jumlah para majus. Tradisi Timur menyebutkan ada duabelas orang majus. Di Barat, beberapa Bapa Gereja perdana - termasuk Origen, St. Leo Agung, dan St. Maximus dari Turin - setuju ada tiga orang majus. Lukisan Kristen Perdana di Roma yang diketemukan dalam makam St. Petrus dan St. Marcellinus menggambarkan dua orang majus dan di makam St. Domitilla, empat orang.

Sejak abad ketujuh di Gereja Barat, para majus diidentifikasikan sebagai Kaspar, Melkior dan Baltasar. Dalam suatu karya tulis berjudul Excerpta et Collectanea yang ditulis St. Beda (wafat 735) tercatat demikian, “Para majus adalah mereka yang membawa persembahan bagi Tuhan. Yang pertama dikatakan bernama Melkior, seorang tua berambut putih dan berjenggot panjang… yang mempersembahkan emas kepada Kristus bagai kepada seorang raja. Yang kedua bernama Kaspar, seorang muda tanpa jenggot dan kulitnya kemerah-merahan… menyembah-Nya sebagai Tuhan dengan persembahan kemenyan, suatu persembahan yang layak bagi yang ilahi. Yang ketiga, berkulit hitam dan berjenggot lebat, namanya Baltasar… dengan persembahan murnya memberikan kesaksian pada Putra Manusia bahwa ia akan wafat.” Suatu kutipan dari penanggalan para kudus abad pertengahan yang dicetak di Cologne berbunyi, “Setelah mengalami banyak pencobaan dan kelelahan demi Injil, ketiga orang bijaksana tersebut bertemu di Sewa (Sebaste di Armenia) pada tahun 54 untuk merayakan Natal. Kemudian, setelah Perayaan Misa, mereka wafat: St. Melkior pada tanggal 1 Januari, dalam usia 116 tahun; St. Baltasar pada tanggal 6 Januari, dalam usia 112 tahun; dan St. Kaspar pada tanggal 11 Januari, dalam usia 109 tahun.” Martirologi Romawi juga mencatat tanggal-tanggal di atas sebagai pesta masing-masing majus.

Kaisar Zeno membawa reliqui para majus dari Persia ke Konstantinopel pada tahun 490. Reliqui (entah sama atau serupa) muncul di Milano bertahun-tahun kemudian dan disimpan di Basilika St. Eustorgius. Kaisar Frederick Barbarossa dari Jerman, yang menjarah Italia, membawa reliqui ke Cologne pada tahun 1162, di mana reliqui aman tersimpan hingga saat ini dalam sebuah rumah reliqui yang indah di katedral.

Meskipun sebagian misteri tetap tak terungkap mengenai identitas para majus, Gereja menghormati sembah sujud mereka: Konsili Trente, ketika menekankan penghormatan yang patut diberikan kepada Ekaristi Kudus memaklumkan, “Umat beriman Kristus menghormati Sakramen Mahakudus ini dengan penyembahan latria yang diperuntukkan bagi Allah yang benar…. Sebab dalam sakramen ini kita percaya bahwa Allah yang sama hadir, yang diutus Bapa yang kekal ke dalam dunia dengan mengatakan, `Biarlah segenap malaikat Allah menyembah-Nya.' Dialah Allah yang sama yang para Majus sujud menyembah, dan akhirnya, Allah yang sama yang dipuja para Rasul di Galilea seperti dicatat dalam Kitab Suci” (Dekrit tentang Sakramen Mahakudus, 5).

Dengan merayakan Hari Raya Natal dan Epifani (sekarang Hari Raya Penampakan Tuhan), kita pun patut sadar akan kewajiban kita untuk bersembah sujud kepada Kristus melalui doa, sembah bakti, dan perbuatan-perbuatan baik serta kurban. St. Gregorius Nazianze (wafat 389) menyampaikan khotbahnya, “Marilah kita tinggal dalam sembah sujud; dan kepada Dia, yang, guna menyelamatkan kita, merendahkan Diri hingga ke tingkat kemiskinan yang begitu rupa dengan menerima tubuh kita, marilah kita mempersembahkan tidak hanya kemenyan, emas dan mur…, melainkan juga persembahan-persembahan rohani, yang lebih luhur daripada yang dapat dilihat dengan mata” (Oratio, 19).

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Who Were the Magi?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald.  All rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Minggu, 30 Desember 2012

Martirium

oleh: P. William P. Saunders *

St. Polikarpus
St Polikarpus
St Ignatius dari Antiokhia


Katekismus menyatakan, “Martirium adalah kesaksian teragung yang dapat diberikan orang untuk kebenaran iman; itulah kesaksian sampai mati” (No. 2473). Daripada mengingkari imannya, seorang martir lebih suka memberikan kesaksian dengan kebesaran hati yang luar biasa akan keyakinan bahwa Kristus menderita sengsara, wafat dan bangkit dari antara orang mati demi keselamatan kita, dan akan kebenaran iman Katolik kita. Kata martir sendiri berarti “saksi”.

Kitab Suci mencatat kisah-kisah kepahlawanan baik dari laki-laki maupun perempuan yang lebih suka mati sebagai martir daripada mengingkari iman mereka atau tidak setia pada hukum Allah. Dalam Perjanjian Lama, Susana lebih suka mati daripada menyerahkan diri pada hasrat dosa kedua hakim yang fasik (Daniel 13). Yohanes Pembaptis menolak untuk berkompromi dengan kejahatan dan tak hentinya memaklumkan hukum Allah; hingga pada akhirnya ia “memberikan nyawanya sebagai saksi kebenaran dan keadilan” (Doa Pembuka pada Peringatan Wafatnya St Yohanes Pembaptis). St Stefanus, salah seorang dari para diakon pertama Gereja, adalah juga martir yang pertama (Kis 6:8dst), diikuti kemudian oleh Rasul St Yakobus Tua (Kis 12:2).

Kesaksian para martir ini menjadi satu dalam penglihatan apokaliptik Kitab Wahyu. St Yohanes melihat suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba. Dengan suara nyaring mereka berseru: “Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba!” Ketika ditanya, siapakah orang-orang itu, terdengar jawaban, “Mereka ini adalah orang-orang yang keluar dari kesusahan yang besar; dan mereka telah mencuci jubah mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba” (bdk Why 7:9-17).

Pemahaman spiritual yang mendasari tindakan martirium adalah pemahaman yang wajib diterima setiap umat Kristiani. Dalam mengajarkan syarat-syarat untuk menjadi seorang murid sejati, Tuhan kita menegaskan, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?” (Mat 16:24-26). Ya, setiap umat Kristiani harus siap memikul salib, bahkan jika itu berarti kehilangan nyawa di dunia ini.  

Dengan berbesar hati memikul salib, seorang Kristiani akan beroleh berkat dalam pandangan Tuhan. Dalam Sabda Bahagia, sikap hidup yang benar, yang mendatangkan rahmat persatuan dengan Tuhan, dinyatakan dalam Sabda Bahagia kedelapan, “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Lebih lanjut, Yesus mempertegasnya, “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.” Walau demikian, tujuan utamanya bukanlah sekedar menderita di sini dan sekarang ini demi iman, melainkan kebesaran hati dan ketekunan yang menghantar orang pada hidup yang kekal, “Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga” (bdk Mat 5:10-12).

Pemahaman spiritual ini dengan sangat indah diwujud-nyatakan dalam kesaksian iman para martir Gereja perdana pada masa penganiayaan oleh bangsa Romawi. Sebagai contoh, St Ignatius dari Antiokhia (wafat 110), yang adalah Uskup Antiokhia yang ketiga, penerus St Evodius (yang adalah penerus St Petrus Rasul), dan yang adalah murid St Yohanes Rasul, dijatuhi hukuman mati oleh Kaisar Trajan dengan dilemparkan ke arena sebagai mangsa binatang-binatang buas. Dalam perjalanan ke Roma di mana ia akan dieksekusi, ia menulis tujuh pucuk surat, termasuk satu surat kepada orang-orang Romawi, di mana ia merefleksikan mengenai hukuman mati yang menantinya, “Biarlah aku menjadi mangsa binatang-binatang buas, karena dengan demikian mungkinlah bagiku untuk sampai kepada Allah. Aku adalah gandum Tuhan, dan aku akan digiling dalam gigi bintang-binatang buas agar aku dapat menjadi roti Kristus yang murni.” Dan lagi “Segala ujung bumi dan segala kerajaan dunia ini tidak berguna sedikitpun bagiku. Lebih baiklah bagiku, mati untuk Kristus daripada hidup sebagai raja sampai ke ujung bumi. Aku mencari Dia yang sudah mati untuk kita; aku menghendaki Dia yang telah bangkit demi kepentingan kita. Saat kelahiranku sudah di ambang pintu” (epistula ad Romanos).

Suatu kesaksian iman luar biasa lainnya pada masa itu adalah kesaksian St Polikarpus, Uskup Smyrna, yang adalah sahabat St Ignatius dan yang adalah juga murid St Yohanes Rasul dan ditahbiskan sebagai uskup oleh St Yohanes. Karena menolak mempersembahkan kurban bagi dewa-dewa berhala Romawi dan menolak keallahan kaisar, St Polikarpus dijatuhi hukuman mati dengan dibakar di atas tiang pancang dalam usia delapanpuluh enam tahun, pada masa pemerintahan Kaisar Marcus Aurelius. Sementara tumpukan kayu hendak dinyalakan, St Polikarpus berdoa, “Aku bersyukur kepada-Mu karena telah menganggapku layak, dan memasukkanku ke dalam kelompok para saksi berdarah pada hari ini dan pada saat ini… Engkau memegang janji-Mu, Allah kesetiaan dan kebenaran. Untuk rahmat ini dan untuk segala sesuatu, aku memuji Engkau, aku memuliakan Engkau dan meluhurkan Engkau dengan pengantaraan Yesus Kristus, Imam Agung surgawi yang kekal, PutraMu yang kekasih. Dengan pengantaraan Dia, yang hidup bersama Engkau dan Roh Kudus, terpujilah Engkau sekarang dan selama-lamanya. Amin” (Martyrium Polycarpi).

Dalam membela martirium, Tertulianus (wafat 250) menulis dalam `Apologeticus', “Salibkan kami, aniaya kami, bunuh kami, binasakan kami. Kejahatanmu adalah bukti ketidakbersalahan kami, sebab itulah Tuhan membiarkan kami mengalami sengsara ini. Ketika baru-baru ini engkau menjatuhkan hukuman kepada seorang gadis Kristiani dengan menyerahkannya kepada seorang mucikari dan bukannya kepada seekor harimau, sesungguhnya engkau menyadari dan mengakui secara terbuka bahwa bagi kami, suatu noda dalam kemurnian kami jauh lebih menakutkan daripada hukuman apapun dan lebih mengerikan daripada maut. Walau demikian, kekejianmu yang dahysat itu tak menghasilkan apa-apa; malahan merupakan suatu umpan bagi agama kami. Semakin kami ditebas olehmu, semakin menjadi banyaklah jumlah kami. Darah para martir adalah benih Kristiani.”

Tak diragukan lagi, walau dianiaya dengan hebat, Gereja terus bertahan dan berkembang, teristimewa dengan ditopang oleh kesaksian para saksi iman yang gagah berani dan doa-doa para martir yang kudus. Dalam Anjuran Apostolik “Gereja di Asia”, Paus Yohanes Paulus II memberikan perhatian pada penganiayaan Gereja, dan dengan menggemakan kembali seruan Tertulianus, beliau memaklumkan, “Semoga mereka berdiri tegak sebagai saksi-saksi kebenaran yang tak terkalahkan akan kebenaran, bahwa umat Kristiani selalu dan di mana-mana dipanggil untuk mewartakan tidak lain kecuali kuasa Salib Tuhan! Dan semoga darah para martir Asia sekarang seperti senantiasa merupakan benih hidup baru bagi Gereja di setiap penjuru benua!” (No. 49).

Bapa Suci Yohanes Paulus II senantiasa memberikan perhatian besar pada kesaksian para martir Gereja kita, teristimewa mereka yang wafat pada abad ini, khususnya selama masa penganiayaan yang dilancarkan oleh Nazi dan Komunis. Setiap benua telah dibasahi oleh darah para martir. Bapa Suci menerangkan martirium sebagai “bukti yang paling cemerlang bagi kebenaran iman; sebab iman dapat memberi wajah manusiawi bahkan kepada peristiwa-peristiwa maut yang penuh kekerasan, dan menunjukkan keindahannya bahkan di tengah pelbagai penganiayaan yang paling mengerikan” (Incarnationis Mysterium, No. 13).

Menurut Sri Paus, “bukti iman” ini membuktikan tiga hal. Pertama, martirium merupakan penegasan bahwa tatanan moral tidak boleh dilanggar - baik kebenaran dan kekudusan hukum Allah, maupun martabat pribadi manusia. Kedua, martirium merupakan suatu pujian dari suatu “kemanusiaan” yang sempurna dari seseorang serta pujian terhadap “hidup” sejati. Di sini, Bapa Suci mengutip pernyataan St Ignatius dari Antiokhia, “Saudara-saudara, berbelaskasihanlah padaku: jangan menghalangiku dari kehidupan; jangan menginginkan kematianku…. Biarkanlah aku sampai kepada cahaya yang murni; sekali sudah di sana aku akan sungguh-sungguh menjadi seorang manusia. Biarkan aku meneladani sengsara Tuhanku” (Ad Romanos). Ketiga, martirium merupakan suatu tanda yang menonjol dari kekudusan Gereja, dengan memberikan kesaksian sepenuhnya mengenai kebenaran. Singkat kata, “lewat contoh hidup mereka yang jelas dan menarik, yang sepenuhnya sudah diubah oleh cahaya kebenaran moral, para martir dan, pada umumnya, semua santo Gereja, menerangi tiap periode dalam sejarah dengan membangkitkan kembali kepekaan moralnya” (Cahaya Kebenaran, No. 93).

Sebab itu, sementara kita mendekati akhir tahun liturgi dan bersiap diri merayakan Hari Raya Tuhan kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam, baiklah kita memberikan perhatian pada para martir Gereja kita, oleh sebab kesaksian iman mereka menyemangati kita dan memberi kita pengharapan besar. Dengan rahmat Tuhan, kiranya kita boleh mempersembahkan diri pada Tuhan dan GerejaNya, dengan iman seperti yang mereka teladankan. Marilah mencamkan dalam hati kata-kata St Paulus ini, “Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr 12:1-2).


* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Church in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Understanding Martyrs” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”