oleh: P. William P. Saunders *
Saya menyetel Channel 118 untuk mengikuti program Rosario. Ketika imam sampai pada misteri keempat, “Maria Diangkat ke Surga,” mereka memperlihatkan pemandangan sebuah gereja di Israel yang diberi nama “Tertidurnya Maria.” Di sana terdapat sebuah patung Bunda Maria yang tertidur dan sebuah makam kosong. Saya belum pernah mendengar tentang tertidurnya Maria. Mohon penjelasan.
~ seorang pembaca ACH
Istilah “Tertidurnya Maria” (bahasa Latin “dormire” artinya tidur) dapat menyesatkan sebab seolah lebih terfokus pada wafat dan pemakaman Bunda Maria. Keyakinan seputar tertidurnya Maria pada hakekatnya berhubungan dengan diangkatnya Santa Perawan Maria, badan dan jiwa, ke surga. Dengan jawaban pendahuluan seperti di atas, kita perlu meninjau kembali Dogma Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga dan bagaimana dogma ini berhubungan dengan “Tertidurnya Maria”.
Memang, peristiwa Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga tidak dicatat dalam Kitab Suci. Sebab itu, banyak kaum fundamentalis yang menafsirkan Kitab Suci secara harafiah akan mengalami kesulitan dalam memahami keyakinan ini. Namun demikian, pertama-tama kita patut berdiam diri dan merenungkan peran Bunda Maria dalam misteri keselamatan, sebab inilah yang menjadi dasar dari keyakinan Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga.
Kita percaya teguh bahwa sejak dari awal mula perkandungannya, karena kasih karunia istimewa dari Allah Yang Mahakuasa, Maria bebas dari segala noda dosa, termasuk dosa asal. Malaikat Agung St Gabriel mengenali Maria sebagai “penuh rahmat,” “terpuji di antara perempuan,” dan “bersatu dengan Tuhan.” Maria telah dipilih untuk menjadi Bunda Juruselamat kita. Dari kuasa Roh Kudus, ia mengandung Tuhan kita, Yesus Kristus, dan melalui dia, sungguh Allah menjadi juga sungguh manusia, “Sabda itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yoh 1:14).
Sepanjang masa hidupnya, walau catatan dalam Injil amat terbatas, Maria senantiasa menghadirkan Tuhan kita kepada yang lain: kepada Elisabet dan puteranya, Yohanes Pembaptis, yang melonjak kegirangan dalam rahim ibundanya atas kehadiran Tuhan yang masih berada dalam rahim BundaNya; kepada para gembala yang sederhana dan juga kepada para majus yang bijaksana; pula kepada warga Kana ketika Tuhan kita meluluskan kehendak BundaNya dan melakukan mukjizat-Nya yang pertama. Terlebih lagi, Maria berdiri di kaki salib bersama Putranya, memberi-Nya dukungan dan berbagi penderitaan dengan-Nya lewat kasihnya seperti yang hanya dapat diberikan oleh seorang ibunda. Dan akhirnya, Maria ada bersama para rasul pada hari Pentakosta ketika Roh Kudus turun dan Gereja dilahirkan. Sebab itu, masing-masing dari kita dapat melihat serta merenungkan Maria sebagai hamba Allah yang setia, yang ikut ambil bagian secara intim dalam kelahiran, kehidupan, wafat dan kebangkitan Tuhan kita.
Karena alasan-alasan ini, kita percaya bahwa janji Tuhan yang diberikan kepada setiap kita akan keikutsertaan dalam hidup yang kekal, termasuk kebangkitan badan, digenapi dalam diri Maria. Sebab Maria bebas diri dosa asal dan segala konsekuensinya (salah satunya adalah kerusakan badan setelah kematian), sebab ia ikut ambil bagian secara intim dalam hidup Tuhan dan dalam sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya, dan sebab ia ada saat Pentakosta, maka model dari pengikut Kristus ini sungguh pantas ikut ambil bagian dalam kebangkitan badan dan kemuliaan Tuhan di akhir hidupnya.
Berdasarkan pemahaman ini, Paus Pius XII dengan khidmad memaklumkan dalam Munificentissimus Deus tanggal 1 November 1950, bahwa “Bunda Allah yang Tak Bernoda Dosa, Maria yang tetap perawan selamanya, sesudah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, diangkat memasuki kemuliaan di surga beserta badan dan jiwanya.” Patut dicatat bahwa definisi khidmad tersebut tidak menjelaskan apakah Maria wafat secara fisik sebelum diangkat ke surga atau langsung diangkat ke surga; hanya dikatakan, “Maria, sesudah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia ….”
Jadi apakah Bunda Maria wafat terlebih dahulu sebelum diangkat ke surga? Apakah ia “tertidur”? Apakah ia dimakamkan? Gereja tidak mengikat kita pada suatu jawab tertentu sebab tradisi mengenainya kurang jelas. Dalam suatu kumpulan kisah apokrif berjudul Transitus Mariae (Perjalanan Maria), yang dianggap sebagai tulisan Uskup St. Melito dari Sardis (wafat ±thn 200), Bunda Maria wafat dihadapan para rasul di Yerusalem, dan kemudian menurut kisah tersebut, tubuhnya menghilang begitu saja, atau dimakamkan dan kemudian menghilang.
St Yohanes Damaskus (wafat 749) juga menuliskan suatu kisah yang menarik sehubungan dengan SP Maria Diangkat ke Surga, “St Juvenal, Uskup Yerusalem, dalam Konsili Kalsedon (451), memberitahukan kepada Kaisar Marcian dan Pulcheria, yang ingin memiliki tubuh Bunda Allah, bahwa Maria wafat di hadapan segenap para rasul, tetapi bahwa makamnya, ketika dibuka atas permintaan St Thomas, didapati kosong; dari situlah para rasul berkesimpulan bahwa tubuhnya telah diangkat ke surga.”
Namun demikian, kisah-kisah ini janganlah lebih diutamakan dari dasar teologis mengenai keyakinan kita akan Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga. Sebaliknya, patutlah kita ingat bahwa para Bapa Gereja membela dogma SP Maria Diangkat ke Surga dengan dua alasan: Sebab Maria bebas dari noda dosa dan tetap perawan selamanya, ia tidak mengalami kerusakan badan, yang adalah akibat dari dosa asal, setelah wafatnya. Juga, jika Maria mengandung Kristus dan memainkan peran yang akrab mesra sebagai BundaNya dalam penebusan manusia, maka pastilah juga ia ikut ambil bagian badan dan jiwa dalam kebangkitan dan kemuliaan-Nya.
Namun demikian, kisah-kisah saleh mempopulerkan istilah “tertidur,” merenungkan bahwa Maria di akhir hidupnya “tertidur” dan kemudian diangkat ke dalam kemuliaan surga. Kaisar Byzantine Mauritius (582-602) menetapkan perayaan Tertidurnya Santa Perawan Maria pada tanggal 15 Agustus bagi Gereja Timur demi memperingati wafat dan diangkatnya Santa Perawan Maria ke surga. (Sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa perayaan ini telah tersebar luas sebelum Konsili Efesus pada tahun 431.) Pada akhir abad keenam, Gereja Barat juga merayakannya dengan nama SP Maria Diangkat ke Surga.
Entah kita mempergunakan istilah “tertidur” atau “diangkat ke surga,” keyakinan dasarnya tetap sama. Katekismus, dengan mengutip Liturgi Byzantine, memaklumkan, “Terangkatnya Perawan tersuci adalah satu keikutsertaan yang istimewa pada kebangkitan Putranya dan satu antisipasi dari kebangkitan warga-warga Kristen yang lain. `Pada waktu persalinan engkau tetap mempertahankan keperawananmu, pada waktu meninggal, engkau tidak meninggalkan dunia ini, ya Bunda Allah. Engkau telah kembali ke sumber kehidupan, engkau yang telah menerima Allah yang hidup dan yang akan membebaskan jiwa-jiwa kami dari kematian dengan doa-doamu'” (No 966).
Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga memberikan kepada masing-masing kita pengharapan besar sementara kita merenungkan satu sisi ini dari Bunda Maria. Maria menggerakkan kita dengan teladan dan doa agar bertumbuh dalam rahmat Tuhan, agar berserah pada kehendak-Nya, agar mengubah hidup kita melalui kurban dan penitensi, dan mencari persatuan abadi dalam kerajaan surga. Pada tahun 1973, Konferensi Waligereja Katolik dalam surat “Lihatlah Bundamu” memaklumkan, “Kristus telah bangkit dari mati; kita tidak membutuhkan kepastian lebih lanjut akan iman kita ini. Maria diangkat ke surga lebih merupakan suatu pengingat bagi Gereja bahwa Tuhan kita menghendaki agar mereka semua yang telah diberikan Bapa kepada-Nya dibangkitkan bersama-Nya. Dalam Maria diangkat ke dalam kemuliaan, ke dalam persatuan dengan Kristus, Gereja melihat dirinya menjawab undangan dari Mempelai surgawi.”
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College in Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: The Dormition of Mary” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2001 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
0 komentar:
Posting Komentar