Pages

Subscribe:

Rabu, 21 November 2012

Relikwi Menurut Paham Katolik



Relikwi St Yanuarius
(San Gennaro); Uskup dan Martir; wafat 305

Darahnya yang tersimpan di Katedral Napoli, Italia ini mencair kembali setiap tahun pada tanggal pestanya, yaitu 19 September. Diyakini, apabila darahnya tidak mencair, maka akan terjadi bencana pada tahun itu, seperti yang telah terbukti pada setidaknya lima kesempatan. Misalnya: wabah ganas pada tahun 1527 dan gempa bumi dahsyat di Italia selatan yang menewaskan hingga 3.000 orang pada tahun 1980.

Relikwi meliputi jasad fisik seorang kudus (atau seorang yang dianggap kudus, namun belum secara resmi dikanonisasi) juga benda-benda lain yang “dikuduskan” dengan disentuhkan ke tubuhnya. Relikwi dibagi dalam dua kelas: kelas pertama dan kelas kedua.

Relikwi Kelas Pertama atau Relikwi Sesungguhnya meliputi bagian-bagian tubuh, pakaian, dan untuk seorang martir: alat-alat penghukuman, penyiksaan dan eksekusi. Relikwi Kelas Kedua atau Relikwi yang Mewakili adalah benda-benda yang disentuhkan umat beriman pada bagian-bagian tubuh atau makam seorang kudus.

Penggunaan relikwi dapat ditemukan dasarnya, walau terbatas, dalam Kitab Suci. Dalam Kitab II Raja-Raja 2:9-14, Nabi Elisa memungut jubah Nabi Elia setelah Elia diangkat ke surga dalam angin badai; dengan jubah itu Elisa memukul air sungai Yordan, yang lalu terbelah menjadi dua sehingga ia dapat menyeberang. Dalam ayat yang lain, Kitab II Raja-Raja 13:20-21, dikisahkan suatu kali orang dengan tergesa-gesa menguburkan mayat ke dalam kubur Elisa, “Dan demi mayat itu kena kepada tulang-tulang Elisa, maka hiduplah ia kembali dan bangun berdiri.” Dalam Kisah Para Rasul kita baca, “Oleh Paulus Allah mengadakan mujizat-mujizat yang luar biasa, bahkan orang membawa saputangan atau kain yang pernah dipakai oleh Paulus dan meletakkannya atas orang-orang sakit, maka lenyaplah penyakit mereka dan keluarlah roh-roh jahat” (Kis 19:11-12). Dalam ketiga ayat di atas, penghormatan diberikan pada tubuh fisik atau pakaian dari orang-orang kudus yang sungguh adalah alat-alat pilihan Allah - Elia, Elisa dan St Paulus. Sungguh, mukjizat-mukjizat terjadi sehubungan dengan “relikwi-relikwi” ini - bukan karena ada suatu kuasa gaib dalam benda-benda itu, melainkan: sama seperti karya Allah diselenggarakan melalui hidup orang-orang kudus ini, demikian pula karya-Nya terus diselenggarakan bahkan setelah kematian mereka. Begitu pula, sama seperti orang banyak dihantar datang kepada Tuhan melalui hidup orang-orang kudus ini, demikian pula orang-orang kudus ini (melalui peninggalan-peninggalan mereka) menginspirasikan pada orang banyak untuk datang kepada Tuhan. Gagasan inilah yang merupakan pemahaman Gereja mengenai relikwi.

Penghormatan terhadap relikwi telah didapati sejak sejarah awal Gereja. Suatu surat yang ditulis oleh umat beriman dari Gereja di Smyrna pada tahun 156M menceritakan kisah wafat St Polikarpus, uskup mereka, yang dibakar di tiang pancang. Surat itu berbunyi, “Kami mengambil tulang-belulangnya, yang jauh lebih berharga daripada batu-batu permata dan lebih murni daripada emas murni, lalu meletakannya di suatu tempat yang pantas, di mana Tuhan akan mengijinkan kami untuk berkumpul bersama, sesering yang kami dapat, dalam bahagia dan sukacita, serta merayakan hari kemartirannya.” Sesungguhnya, relikwi - tulang-belulang dan peninggalan St Polikarpus yang lainnya - dimakamkan, dan makam itu sendiri merupakan “wadah relikwi”. Catatan-catatan lain menegaskan bahwa umat beriman berziarah ke tempat-tempat pemakaman para kudus dan mukjizat-mukjizat terjadi di sana. Di samping itu, pada masa sekarang, kita melihat perkembangan “hari-hari pesta” mengenangkan wafatnya seorang kudus, perayaan Misa di tempat pemakaman dan penghormatan terhadap peninggalan para kudus.

Sesudah disahkannya Gereja pada tahun 313M, makam-makam para kudus dibuka dan relikwi-relikwi sesungguhnya dihormati oleh umat beriman. Tulang-belulang atau bagian tubuh lainnya ditempatkan dalam suatu wadah relikwi - kotak, medali, dan di kemudian hari kotak kaca - untuk dihormati. Praktek semacam ini teristimewa berkembang di Gereja Timur, sementara praktek menyentuhkan kain pada peninggalan seorang kudus lebih umum dilakukan di Barat. Pada masa periode Merovingian dan Carolingian dalam Abad Pertengahan, wadah relikwi telah umum digunakan di segenap penjuru Gereja.

Gereja berusaha mempertahankan penggunaan relikwi dalam pemahaman yang benar. Dalam Surat kepada Riparius, St Hieronimus (wafat 420) menulis demi mempertahankan penghormatan terhadap relikwi, “Kita tidak menyembah, kita tidak memuja, oleh sebab kita takut bersembah sujud kepada makhluk ciptaan dan bukan kepada Sang Pencipta, tetapi kita menghormati relikwi para martir guna terlebih lagi memuja Dia yang empunya para martir itu.”

Di sini kita perlu berhenti sejenak. Mungkin, di abad teknologi kita ini, segala gagasan mengenai relikwi tampak “aneh”. Baiklah kita mengingat-ingat bahwa kita semua menyimpan barang-barang milik seorang yang kita kasihi - mungkin pakaian, atau suatu barang pribadi lainnya. “Relikwi-relikwi” itu mengingatkan kita akan kasih sayang yang ada antara kita dengan si pemilik barang, sementara ia masih hidup dan bahkan sesudah ia meninggal. Hati kita terasa sakit apabila kita harus membuang suatu barang yang sifatnya sangat pribadi milik seseorang yang kita kasihi, yang sudah meninggal dunia. Bahkan dari segi sejarah, di Ford's Theater Museum misalnya, kita dapat melihat barang-barang peninggalan Presiden Lincoln, termasuk bantal bernoda darah di mana ia menghembuskan napas terakhirnya. Jika demikian, terlebih lagi, kita menyimpan relikwi para kudus, yang adalah alat-alat kudus pilihan Tuhan.

Pada Abad Pertengahan, “pemindahan relikwi,” yaitu pemindahan relikwi dari makam, dari wadah relikwi, dan penyebaran relikwi, semakin berkembang. Sayangnya, penyalahgunaan relikwi juga ikut berkembang. Dengan berbagai invasi barbar, kemenangan Perang Salib, kurangnya sarana untuk menguji keaslian relikwi, pula orang-orang yang dalam ketamakan mereka menipu mereka yang tidak mengerti dan yang percaya takhyayul, sehingga penyelewengan sungguh banyak terjadi. Bahkan St Agustinus (wafat 430) mengutuk penipu-penipu licik yang berdandan bagaikan biarawan memperdagangkan relikwi-relikwi palsu para kudus. Paus St Gregorius (wafat 604) melarang penjualan relikwi dan pembongkaran makam di katakomba-katakomba. Sayangnya, para paus maupun otoritas religius lainnya tak berdaya dalam usaha mereka mengendalikan pemindahan relikwi maupun dalam mencegah pemalsuan relikwi. Pada akhirnya, penyimpangan-penyimpangan ini menggerakkan para pemimpin Protestan untuk sama sekali menyerang gagasan mengenai relikwi. (Sayangnya, penyalahgunaan dan penyelewengan yang terjadi seputar relikwi telah menghantar banyak orang hingga sekarang ini untuk tidak percaya sama sekali perihal relikwi).

Sebagai tanggapan, Konsili Trente (1563) mempertahankan baik gagasan mengenai mohon bantuan doa kepada para kudus, maupun penghormatan terhadap relikwi dan makam para kudus, “Tubuh sakral para martir yang kudus maupun para kudus lainnya yang hidup dalam Kristus, yang adalah anggota-anggota tubuh Kristus yang hidup dan bait Roh Kudus, dan yang dimaksudkan untuk dibangkitkan serta dimuliakan oleh-Nya dalam kehidupan kekal, hendaknya juga dihormati oleh umat beriman. Daripadanya, banyak manfaat dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia.”

Sejak saat itu, Gereja mengambil tindakan-tindakan ketat dan seksama guna memastikan penyimpanan dan penghormatan yang layak bagi relikwi. Kitab Hukum Kanonik no 1190 melarang dengan keras penjualan relikwi-relikwi suci, dan relikwi-relikwi “tidak bisa dengan sah dialih-milikkan dengan cara apapun atau dipindahkan untuk selamanya tanpa izin Takhta Apostolik.” Di samping itu, sekarang ini relikwi diperlengkapi dengan dokumen yang menjamin keotentikannya. Kitab Hukum Kanonik juga mendukung penempatan relikwi yang pantas dalam praktek kehidupan Katolik kita. KHK No. 1237 menyatakan, “Hendaknya tradisi kuno untuk memendam relikwi-relikwi para martir atau orang-orang kudus lainnya di bawah altar yang tetap, dipertahankan, menurut norma-norma yang diberikan dalam buku-buku liturgi,” (suatu praktek yang telah tersebar luas sejak abad keempat). Banyak gereja juga memiliki relikwi dari santa / santo pelindung mereka, yang dihormati umat beriman pada kesempatan-kesempatan khusus. Dan ya, terus saja berlanjut laporan-laporan mengenai mukjizat-mukjizat dan melimpahnya kasih karunia Tuhan kita melalui perantaraan para santa / santo dan penghormatan terhadap relikwinya. Pada intinya, relikwi mengingatkan kita akan kekudusan seorang santa / santo dan kesediaannya untuk bekerjasama dalam karya Allah; sekaligus relikwi mengilhami kita untuk mohon bantuan doa santa / santo tersebut, serta mohon rahmat Tuhan agar kita hidup dengan penuh iman seturut teladannya.
 
Dikutip dari : yesaya.indocell.net

0 komentar:

Posting Komentar