Pages

Subscribe:

Senin, 31 Desember 2012

Busana Liturgis Imam Dalam Misa

oleh: P. William P. Saunders *


Saya selalu bertanya-tanya mengenai busana liturgis yang dikenakan imam dalam perayaan Misa. Mohon penjelasan.
~ seorang pembaca di Sterling


Busana-busana liturgis yang dikenakan dalam perayaan Misa mengalami perkembangan seturut berjalannya waktu. Namun demikian, sejak masa-masa awali Gereja, busana liturgis telah dikenakan oleh para imam untuk merayakan Misa. Walau para imam dari Perjanjian Lama mengenakan busana liturgis dalam ritus-ritus liturgis mereka, namun busana-busana liturgis “Kristiani” tidak sungguh diambil dari sana; tetapi, busana-busana liturgis Kristiani ini merupakan perkembangan dari busana Graeco-Romawi, termasuk budaya religiusnya. Meski begitu, gagasan dari Perjanjian Lama mengenai suatu busana khusus yang harus dikenakan dalam melaksanakan ritus-ritus liturgis sungguh mempengaruhi Gereja. St Hieronimus menegaskan, “Agama Ilahi memiliki satu busana dalam pelayanan hal-hal kudus, dan busana lain dalam interaksi dan hidup sehari-hari.” Setelah disahkannya kekristenan pada tahun 313M, Gereja terus menyempurnakan “siapa mengenakan apa, bilamana, dan bagaimana” hingga sekitar tahun 800 ketika norma-norma liturgis perihal busana pada dasarnya distandarisasi dan tetap sama hingga pembaharuan sesudah Konsili Vatikan Kedua.

Sekarang ini, untuk perayaan Misa, seorang imam mengenakan amik, alba, single, stola dan kasula.


AMIK, Tanda Perlindungan

Amik adalah selembar kain lenan putih berbentuk segi empat dengan dua tali panjang di dua ujungnya. Imam mengenakannya sekeliling leher, menutupi bahu dan pundak, menyilangkan kedua tali di depan (membentuk salib St Andreas), dan lalu membawa tali ke belakang punggung, melilitkannya sekeliling pinggang dan mengikatkannya dengan suatu simpul. Tujuan praktis amik adalah untuk menutupi jubah biasa imam, dan untuk menyerap keringat dari kepala dan leher. Di kalangan Graeco-Romawi, amik adalah penutup kepala, seringkali dikenakan di bawah topi baja para prajurit Romawi untuk menyerap keringat, dengan demikian mencegah keringat menetes ke mata. Tujuan rohani amik adalah mengingatkan imam akan nasehat St Paulus, “Terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah” (Ef 6:17).

Doa ketika mengenakan amik:
“Tuhan, letakkanlah pelindung keselamatan pada kepalaku untuk menangkis segala serangan setan.”


ALBA, Citra Kekudusan

Alba adalah pakaian putih panjang hingga sebatas pergelangan kaki, dan memiliki lengan panjang hingga pergelangan tangan. Kata “alba” dalam bahasa Latin artinya “putih”. Alba adalah pakaian luar yang umum dikenakan di kalangan Graeco-Romawi dan mirip dengan soutane yang dikenakan di Timur Tengah. Tetapi, mereka yang berwenang mengenakan alba dengan kualitas yang lebih baik dengan aneka sulaman atau gambar. Beberapa alba modern memiliki kerah sehingga amik tidak diperlukan lagi. Tujuan rohani alba adalah mengingatkan imam akan pembaptisannya, saat kain putih diselubungkan padanya guna melambangkan kemerdekaannya dari dosa, kemurnian hidup baru, dan martabat Kristiani. Di samping itu, Kitab Wahyu menggambarkan para kudus yang berdiri sekeliling altar Anak Domba di surga sebagai “Orang-orang yang keluar dari kesusahan yang besar; dan mereka telah mencuci jubah mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba” (7:14). Demikian pula imam wajib mempersembahkan Misa dengan kemurnian tubuh dan jiwa, dan dengan kelayakan martabat imamat Kristus. Di beberapa negara tropis, termasuk Indonesia, jika tidak ada alba, maka dapat dipakai jubah yang berwarna putih.

Doa ketika mengenakan alba:
“Sucikanlah aku, ya Tuhan, dan bersihkanlah hatiku, agar aku boleh menikmati kebahagiaan kekal karena telah dibasuh dalam darah Anak Domba.”


SINGEL, Tali Kesucian

Singel adalah tali yang tebal dan panjang dengan jumbai-jumbai pada kedua ujungnya, yang diikatkan sekeliling pinggang untuk mengencangkan / merapikan alba. Singel merupakan simbol nilai kemurnian hati dan pengekangan diri. Singel dapat berwarna putih atau sesuai dengan warna masa liturginya. Di kalangan Graeco-Romawi, singel adalah bagaikan ikat pinggang. Tujuan rohani singel adalah mengingatkan imam akan nasehat St Petrus, Sebab itu siapkanlah akal budimu, waspadalah dan letakkanlah pengharapanmu seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan kepadamu pada waktu penyataan Yesus Kristus. Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu” (1 Pet 1:13-15).

Doa ketika mengenakan singel:
“Tuhan, kuatkanlah aku dengan tali kesucian ini dan padamkanlah hasrat ragawiku, agar kebajikan pengekangan diri dan kemurnian hati dapat tinggal dalam diriku.”


STOLA, Lambang Penugasan Resmi

Stola adalah semacam selendang panjang, kira-kira 4 inci (± 10 cm) lebarnya, warnanya sama dengan kasula, yang dikalungkan pada leher. Stola diikatkan di pinggang dengan singel. Stola merupakan simbol bahwa pemakainya sedang melaksanakan tugas resmi Gereja, terutama menyangkut tugas pengudusan (imamat). Secara khusus, sesuai dengan doa ketika mengenakannya, stola dimaknai sebagai simbol kekekalan. Sebelum pembaharuan Konsili Vatikan Kedua, stola disilangkan di dada imam untuk melambangkan salib. Stola juga berasal dari budaya masa lampau. Para rabi mengenakan selendang doa dengan jumbai-jumbai sebagai tanda otoritas mereka. Stola yang disilangkan juga merupakan simbolisme dari ikat pinggang bersilang yang dikenakan para prajurit Romawi: satu ikat pinggang dengan pedang di pinggang, dan ikat pinggang lainnya dengan kantong perbekalan, misalnya air dan makanan. Dalam arti ini, stola mengingatkan imam bukan hanya pada otoritas dan martabatnya sebagai imam, melainkan juga tugas kewajibannya untuk mewartakan Sabda Allah dengan gagah berani dan penuh keyakinan (“Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun” Ibr 4:12) dan untuk melayani kebutuhan umat beriman. Sekarang, imam mengenakan stola yang dikalungkan pada leher dan ujungnya dibiarkan menggantung, tidak disilangkan. Stola yang sempit biasanya dikenakan di dalam kasula, sedangkan stola yang lebar dikenakan di atas kasula.

Doa ketika mengenakan stola:
“Ya Tuhan, kenakanlah kembali stola kekekalan ini, yang telah hilang karena perbuatan para leluhur kami, dan perkenankanlah aku meraih hidup kekal meski aku tak pantas menghampiri misteri-Mu yang suci.”


KASULA, Lambang Cinta dan Pengorbanan

Kasula, disebut juga planeta, adalah pakaian luar yang dikenakan di atas alba dan stola. Kasula merupakan busana khas imam, khususnya selebran dan konselebran utama, yang dipakai untuk memimpin Perayaan Ekaristi. Kasula melambangkan keutamaan cinta kasih dan ketulusan untuk melaksanakan tugas yang penuh pengorbanan diri bagi Tuhan. Selama berabad-abad model kasula telah mengalami beberapa perubahan dan variasi. Kasula berasal dari kata Latin “casula” yang artinya “rumah”; kasula di kalangan Graeco-Romawi serupa sebuah mantol tanpa lengan yang sepenuhnya menutupi tubuh dan melindungi si pemakai dari cuaca buruk. Tujuan rohani kasula adalah mengingatkan imam akan kasih dan pengurbanan Kristus, “Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (Kol 3:14).

Doa ketika mengenakan kasula:
“Ya Tuhan, Engkau pernah bersabda: `kuk yang Ku-pasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.' Buatlah aku sanggup mengenakan pakaian ini agar dapat memperoleh rahmatmu. Amin.”


Pada Abad Pertengahan, muncul dua interpretasi populer mengenai makna busana liturgis ini. Interpretasi yang paling umum menafsirkan busana liturgis sebagai simbol sengsara Yesus: kain yang digunakan prajurit untuk menutup muka-Nya (amik) dan jubah (alba) sementara Ia diolok-olok dan disesah; tali-temali dan belenggu (singel) yang membelenggu-Nya sepanjang penderaan; salib (stola) yang Ia panggul; dan jubah tak berjahit (kasula) yang atasnya para prajurit membuang undi. Interpretasi lain yang juga populer lebih berfokus pada busana itu dari asal-usulnya yang dari militer Romawi, yang dipandang sebagai simbol imam sebagai laskar Kristus yang berperang melawan dosa dan setan.

Pada intinya, busana-busana liturgis yang dikenakan dalam perayaan Misa memiliki dua tujuan utama. Pertama, “Gereja adalah Tubuh Kristus. Dalam Tubuh itu tidak semua anggota menjalankan tugas yang sama. Dalam perayaan Ekaristi, tugas yang berbeda-beda itu dinyatakan lewat busana liturgis yang berbeda-beda. Jadi, busana itu hendaknya menandakan tugas khusus masing-masing pelayan. Di samping itu, busana liturgis juga menambah keindahan perayaan liturgis” (Pedoman Umum Misale Romawi No. 335). Kedua, busana liturgis mengilhami imam dan semua umat beriman untuk merenungkan arti simboliknya yang kaya makna.

* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College in Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: Liturgical Vestments” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2001 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
tambahan : “Simbol-Simbol Sekitar Perayaan Ekaristi: Busana Liturgis”; Pamflet Liturgi M3 Mengalami, Merawat, Menarikan Liturgi; diterbitkan oleh ILSKI (Institut Liturgi Sang Kristus Indonesia)
gambar : “Vestments” by Father Peffley; Father Peffley's Web Site; www.transporter.com/fatherpeffley
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Wahai Perjamuan Yang Mulia dan Mengagumkan

oleh St Thomas Aquinas, Imam (1225 - 1274)

Oleh sebab adalah kehendak Putra Tunggal Allah bahwa manusia ikut ambil bagian dalam keilahian-Nya, maka Ia mengenakan kodrat kita agar dengan menjadi manusia Ia dapat mengilahikan manusia. Pula, ketika Ia mengambil daging kita, Ia mempersembahkan segenap kemanusiaan-Nya itu demi keselamatan kita. Ia mempersembahkan Tubuh-Nya kepada Allah Bapa di atas altar salib sebagai kurban demi pendamaian kita. Ia mencurahkan Darah-Nya demi penebusan dan pemurnian kita, agar kita dapat ditebus dari belenggu perbudakan dan dibasuh dari segala dosa. Tetapi, demi memastikan agar kenangan akan anugerah yang demikian agung itu tetap tinggal bersama kita selamanya, Ia meninggalkan Tubuh-Nya sebagai makanan dan Darah-Nya sebagai minuman umat beriman agar disantap dalam rupa roti dan anggur.

Wahai perjamuan yang mulia dan mengagumkan, yang mendatangkan keselamatan bagi kita dan yang sarat dengan segala kemanisan! Adakah sesuatu yang memiliki nilai intrinsik lebih daripada ini? Di bawah hukum lama, daging lembu dan kambing yang dipersembahkan; tetapi di sini Kristus Sendiri, Allah yang benar, disajikan di hadapan kita sebagai makanan kita. Adakah sesuatu yang lebih mengagumkan daripada ini? Tak ada sakramen lain yang memiliki kuasa penyembuhan lebih besar daripada Ekaristi; melalui Ekaristi dosa-dosa diampuni, keutamaan-keutamaan ditingkatkan, dan jiwa diperkaya dengan aneka karunia rohani yang berlimpah. Ekaristi dipersembahkan di Gereja bagi mereka yang hidup dan yang mati, sehingga apa yang ditetapkan bagi keselamatan semua orang dapat mendatangkan manfaat bagi semuanya. Namun, pada akhirnya, tak seorang pun dapat dengan sepenuhnya mengungkapkan kemanisan sakramen ini, di mana sukacita rohani dicecap hingga ke akarnya, dan di mana kita memperbaharui kenangan akan kasih mahaunggul Kristus bagi kita seperti dinyatakan dalam sengsara-Nya.

Adalah demi menanamkan kemaharahiman kasih ini dengan lebih teguh dalam hati umat beriman, maka Tuhan kita menetapkan Sakramen Ekaristi pada Perjamuan Malam Terakhir. Sebab Ia hendak meninggalkan dunia untuk pergi kepada Bapa, setelah merayakan Paskah bersama para murid-Nya, Ia meninggalkannya sebagai kenangan abadi akan sengsara-Nya. Ekaristi adalah kegenapan dari pralambang di masa lampau dan yang teragung dari segala mukjizat-Nya, sementara bagi mereka yang akan mengalami dukacita atas kepergian-Nya, Ekaristi ditetapkan untuk menjadi suatu penghiburan yang unik, yang tinggal abadi di tengah-tengah mereka.




PERAYAAN MISA MENURUT PARA KUDUS

 “Oh, betapa misteri yang mengagumkam terjadi sepanjang Misa Kudus! … Suatu hari kelak kita akan tahu apa yang diperbuat Allah bagi kita di setiap Misa, dan karunia-karunia apa saja yang Ia persiapkan bagi kita dalam Misa. Hanya kasih ilahi-Nya yang memungkinkan karunia yang sedemikian itu dianugerahkan kepada kita… sumber kehidupan ini memancar dengan segala kemanisan dan kuasa…”
~ St Faustina Kowalska

“Tak ada yang begitu membahagiakan, begitu merasuki hati, begitu menggetarkan, begitu menguasai jiwa, seperti Misa, yang dipersembahkan di antara kita. Aku dapat ikut ambil bagian dalam Misa untuk selamanya, dan tidak menjadi lelah. Misa bukanlah sekedar kata-kata belaka; melainkan suatu tindakan yang agung. Tindakan yang paling luhur yang dapat dilakukan di dunia. Misa adalah … menghadirkan Yang Kekal.”
~ Ven. Kardinal Yohanes Henry Newman

 “Ikutlah ambil bagian dalam Misa setiap hari; maka sepanjang harimu akan berhasil baik. Segala tugas kewajibanmu akan terselenggara dengan lebih baik, dan jiwamu akan lebih dikuatkan dalam menanggung salibnya setiap hari. Misa adalah tindakan religius yang paling agung mulia; engkau tak dapat melakukan suatu pun yang dapat mendatangkan kemuliaan yang lebih besar kepada Tuhan sekaligus mendatangkan lebih banyak manfaat bagi jiwamu selain dari ikut ambil bagian dalam Misa dengan kerap dan saleh. Misa adalah sembah sujud kesukaan para kudus.”
~ St Petrus Yulianus Eymard
Dikutip dari : yesaya.indocell.net

Tanda Salib

oleh: P. William P. Saunders *

Apa sesungguhnya makna Tanda Salib dan mengapa kita melakukannya?
Bilamana dan bagaimana praktek ini berasal?
~ seorang pembaca di Falls Church

Tanda Salib merupakan suatu gerakan yang indah, yang mengingatkan umat beriman pada salib keselamatan sembari menyerukan Tritunggal Mahakudus. Secara teknis, Tanda Salib merupakan sakramentali, suatu lambang sakral yang ditetapkan Gereja guna mempersiapkan orang untuk menerima rahmat, dan yang menguduskan suatu saat atau peristiwa. Seiring pemikiran tersebut, gerakan ini telah dilakukan sejak masa Gereja Perdana untuk memulai dan mengakhiri doa serta Misa.

Para Bapa Gereja awali menegaskan penggunaan Tanda Salib. Tertulianus (wafat 250) menggambarkan kebiasaan membuat Tanda salib: “Dalam segala kegiatan dan gerakan, setiap kali kami datang maupun pergi, saat mengenakan sepatu, saat mandi, saat makan, saat menyalakan lilin, saat berbaring, saat duduk, dalam segala apapun yang kami lakukan, kami menandai dahi kami dengan Tanda Salib” (De corona, 30).

St. Sirilus dari Yerusalem (wafat tahun 386) dalam Pengajaran Katekesenya menyatakan, “Jadi, marilah kita tanpa malu-malu mengakui Yang Tersalib. Jadikan Salib sebagai meterai kita, yang dibuat dengan mantap menggunakan jari-jari di dahi kita dan dalam segala kesempatan; atas roti yang kita makan dan cawan yang kita minum, saat kita datang dan saat kita pergi; sebelum kita tidur, saat kita berbaring dan saat kita terjaga; saat kita bepergian, dan saat kita beristirahat” (Katekese, 13). Lama-kelamaan, Tanda Salib dimasukkan dalam berbagai tindakan dalam Misa, misalnya menandai diri tiga kali di dahi, bibir dan hati saat Injil hendak dibacakan atau saat menyampaikan berkat dan saat menandai roti dan anggur persembahan yang dimulai sekitar abad kesembilan.

Cara resmi paling awal dalam membuat Tanda Salib muncul sekitar tahun 400-an, yaitu saat munculnya bidaah Monophysite yang menyangkal adanya dua kodrat dalam pribadi ilahi Kristus, dan dengan demikian menyangkal persekutuan Tritunggal Mahakudus. Tanda Salib dibuat dari dahi ke dada, dan kemudian dari bahu kanan ke bahu kiri. Ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah ditangkupkan sebagai lambang Tritunggal Mahakudus - Bapa, Putra dan Roh Kudus. Di samping itu, ketiga jari ditangkupkan sedemikian rupa hingga melambangkan singkatan Yunani I X C (Iesus Christus Soter, Yesus Kristus Juruselamat): jari telunjuk yang lurus melambangkan I; jari tengah saling bersilangan dengan ibu jari melambangkan X; dan jari tengah yang bengkok melambangkan C. Jari manis dan jari kelingking dilipat ke arah telapak tangan, melambangkan kesatuan kodrat manusia dan kodrat ilahi, kehendak manusia dan kehendak ilahi dalam pribadi Kristus. Cara membuat Tanda Salib seperti ini umum dilakukan di kalangan seluruh Gereja hingga sekitar abad keduabelas, tetapi hingga sekarang masih tetap dipraktekkan dalam Gereja-gereja Katolik Ritus Timur dan Gereja-gereja Orthodox.

Suatu instruksi dari Paus Inosensius III (1198 - 1216) membuktikan adanya tradisi praktek tersebut, sekaligus menunjukkan adanya perubahan dalam praktek Gereja Katolik Ritus Latin, “Tanda Salib dibuat dengan tiga jari, sebab penandaan diri tersebut dilakukan sembari menyerukan Tritunggal Mahakudus…. Beginilah cara melakukannya: dari atas ke bawah, dan dari kanan ke kiri, sebab Kristus turun dari surga ke bumi, dan dari Yahudi (kanan) Ia menyampaikannya kepada kaum kafir (kiri).” Sembari memperhatikan kebiasaan membuat Tanda Salib dari bahu kanan ke bahu kiri, yang dilakukan baik oleh gereja-gereja barat maupun timur, Paus Inosensius melanjutkan, “Namun demikian, yang lain, membuat Tanda Salib dari kiri ke kanan, sebab dari sengsara (kiri) kita harus beralih menuju kemuliaan (kanan), sama seperti Kristus beralih dari mati menuju hidup, dan dari Tempat Penantian menuju Firdaus. [Sebagian imam] melakukannya dengan cara ini, sehingga mereka dan umat menandai diri mereka dengan cara yang sama. Kalian dapat dengan mudah membuktikannya - bayangkan imam menghadap umat untuk menyampaikan berkat - ketika kami membuat Tanda Salib atas umat, kami melakukannya dari kiri ke kanan…” Karenanya, sejak saat itu umat beriman mulai meniru imam dalam menyampaikan berkat, dari bahu kiri ke bahu kanan dengan tangan terbuka. Lama-kelamaan, praktek ini menjadi cara yang biasa digunakan dalam Gereja Barat.       

Dalam karya klasik, “Upacara-upacara Ritus Romawi” tulisan Adrian Fortescue dan J. B. O'Connell, Tanda Salib dibuat dengan cara berikut: “Letakkanlah tangan kiri dengan telapak terbuka di bawah dada. Tangan kanan terbuka juga. Pada saat menyerukan Patris [Bapa] angkatlah tangan kanan dan sentuhkan kening; saat menyerukan Filii [Putra], sentuhlah dada agak ke bawah, tetapi di atas tangan kiri; saat menyerukan Spiritus Sancti [Roh Kudus], sentuhlah bahu kiri dan kanan; saat menyerukan Amin, tangkupkan kedua tangan jika perlu.” Meskipun praktek ini telah berkembang dari bentuk asalnya dan kini masih dipraktekkan dalam Ritus Timur, tetapi telah menjadi praktek yang biasa dilakukan pula dalam Gereja Ritus Latin selama beberapa abad.  

Tak peduli bagaimana orang secara teknis membuat Tanda Salib, gerakan haruslah dilakukan dengan khidmat dan saleh. Umat beriman haruslah menyadari kehadiran Tritunggal Mahakudus, dogma inti yang menjadikan orang-orang Kristen sebagai “Kristen”. Juga, umat beriman haruslah ingat bahwa Salib adalah tanda keselamatan kita: Yesus Kristus, sungguh Allah yang menjadi sungguh manusia, yang mempersembahkan kurban sempurna bagi penebusan dosa-dosa kita di atas altar salib. Tindakan sederhana namun mendalam ini membuat setiap orang beriman sadar akan betapa besar kasih Allah bagi kita, kasih yang lebih kuat daripada maut dan akan janji-janji kehidupan abadi. Demi alasan-alasan yang tepat, indulgensi sebagian diberikan kepada mereka yang menandari dirinya dengan Tanda Salib dengan khidmat, sambil menyerukan, “Dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus” (Enchirdion of Indulgences, No. 55). Oleh sebab itu, marilah setiap kita membuat Tanda Salib dengan benar dan khidmad serta tidak dengan sembarangan ataupun ceroboh.  

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: The Sign of the Cross” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald.  All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Santa Perawan Maria Bunda Allah

oleh: Paus Yohanes Paulus II
Audiensi Umum, 27 November 1996
1. Renungan akan misteri kelahiran sang Juruselamat telah menghantar umat Kristiani bukan hanya untuk mengenali Santa Perawan sebagai Bunda Yesus, melainkan juga untuk mengenalinya sebagai Bunda Allah. Kebenaran ini telah ditegaskan serta diterima sebagai harta warisan iman Gereja sejak dari abad-abad awal kekristenan, hingga akhirnya secara resmi dimaklumkan dalam Konsili Efesus pada tahun 431.

Dalam komunitas Kristiani yang pertama, sementara para murid semakin menyadari bahwa Yesus adalah Putra Allah, menjadi semakin nyatalah bahwa Bunda Maria adalah Theotokos, Bunda Allah. Inilah gelar yang tidak muncul secara eksplisit dalam ayat-ayat Injil, tetapi dalam ayat-ayat tersebut “Bunda Yesus” disebutkan dan ditegaskan bahwa Yesus adalah Allah (Yoh 20:28; bdk. 5:18; 10:30, 33). Bunda Maria dihadirkan sebagai Bunda Imanuel, yang artinya “Tuhan beserta kita” (bdk. Mat 1:22-23).

Telah sejak dari abad ketiga, seperti dapat disimpulkan dari suatu kesaksian tertulis kuno, umat Kristiani Mesir telah mendaraskan doa ini kepada Bunda Maria, “Kami bergegas datang untuk mohon perlindunganmu, ya Bunda Allah yang kudus, janganlah kiranya engkau mengabaikan permohonan dalam kesesakan kami, tetapi bebaskanlah kami dari segala yang jahat, ya Santa Perawan yang mulia” (dari Buku Ibadat Harian). Istilah Theotokos muncul secara eksplisit untuk pertama kalinya dalam kesaksian kuno ini.

Dalam mitos kafir, seringkali terjadi bahwa seorang dewi tertentu dihadirkan sebagai ibunda dari beberapa dewa. Sebagai contoh, dewa tertinggi, Zeus, memiliki dewi Rhea sebagai ibundanya. Konteks ini mungkin mendorong umat Kristiani untuk mempergunakan gelar “Theotokos”, “Bunda Allah”, bagi Bunda Yesus. Namun demikian, patut dicatat bahwa gelar ini tidak ada sebelumnya, melainkan diciptakan oleh umat Kristiani guna mengungkapkan suatu keyakinan yang tidak ada hubungannya dengan mitos kafir, yaitu keyakinan akan perkandungan Dia, yang senantiasa adalah Sabda Allah yang kekal, dalam rahim Maria yang perawan.

Konsili Efesus memaklumkan Bunda Maria sebagai Bunda Allah

2. Dalam abad keempat, istilah Theotokos biasa dipergunakan baik di Gereja Timur maupun Barat. Devosi dan teologi merujuk lebih dan lebih banyak lagi pada istilah ini, yang sekarang telah menjadi bagian dari warisan iman Gereja.

Oleh karenanya, orang dapat memahami gerakan protes besar yang muncul dalam abad kelima ketika Nestorius menyatakan keraguannya atas kebenaran gelar “Bunda Allah”. Sesungguhnya, berkeyakinan bahwa Bunda Maria hanyalah bunda dari Yesus manusia, ia bersikukuh bahwa “Bunda Kristus” adalah satu-satunya istilah yang benar secara doktrin. Nestorius dihantar pada kesalahan ini karena ketakmampuannya mengakui keutuhan pribadi Kristus dan karena tafsirannya yang salah dalam membuat pemisahan kedua kodrat - kodrat ilahi dan kodrat manusiawi - yang ada dalam Kristus.

Pada tahun 431, Konsili Efesus mengutuk thesisnya dan, dengan menegaskan kodrat ilahi dan kodrat manusiawi dalam satu pribadi Putra, memaklumkan Bunda Maria sebagai Bunda Allah.

3. Sekarang, kesulitan-kesulitan dan keberatan-keberatan yang diajukan oleh Nestorius memberi kita kesempatan untuk melakukan refleksi-refleksi yang berguna demi pemahaman dan penafsiran yang benar atas gelar ini. Istilah Theotokos, yang secara harafiah berarti, “ia yang telah melahirkan Allah,” secara sepintas dapat mengejutkan; sesungguhnya malahan membangkitkan pertanyaan seperti, bagaimana mungkin seorang manusia ciptaan melahirkan Allah. Jawaban atas iman Gereja sangat jelas: Keibuan ilahi Bunda Maria mengacu hanya pada kelahiran Putra Allah sebagai manusia, tetapi bukan pada kelahiran ilahi-Nya. Putra Allah dilahirkan dalam kekekalan oleh Allah Bapa, dan sehakikat dengan-Nya. Bunda Maria, tentu saja tidak ambil bagian dalam kelahiran dalam kekekalan ini. Tetapi, Putra Allah mengambil kodrat manusiawi kita 2000 tahun yang lalu dan dikandung serta dilahirkan oleh Perawan Maria.  

Dengan memaklumkan Bunda Maria sebagai “Bunda Allah”, Gereja bermaksud untuk menegaskan bahwa ia adalah “Bunda dari Inkarnasi Sabda, yang adalah Allah.” Sebab itu, keibuannya tidak diperluas pada keseluruhan pribadi Tritunggal Mahakudus, melainkan hanya pada Pribadi Kedua, Allah Putra, yang dalam berinkarnasi mengambil kodrat manusiawi-Nya dari Maria.

Keibuan merupakan suatu hubungan dari pribadi ke pribadi: seorang ibu bukanlah sekedar ibu ragawi atau ibu secara fisik belaka dari makhluk yang dilahirkan dari rahimnya, melainkan ibu dari pribadi yang dilahirkannya. Karenanya, dengan melahirkan, menurut kodrat manusiawi-Nya, pribadi Yesus, yang adalah pribadi Allah, Bunda Maria adalah Bunda Allah.

Kesediaan Santa Perawan mengawali Peristiwa Inkarnasi

4. Dalam memaklumkan Bunda Maria sebagai “Bunda Allah”, Gereja dalam satu ungkapan menyatakan imannya akan Putra dan Bunda. Kesatuan ini telah dilihat dalam Konsili Efesus; dalam mendefinisikan keibuan ilahi Bunda Maria, para Bapa Gereja bermaksud menegaskan keyakinan mereka akan keilahian Kristus. Walau menghadapi banyak keberatan, baik dulu maupun sekarang, mengenai tepat atau tidaknya dalam menggelari Bunda Maria dengan gelar ini, umat Kristiani sepanjang jaman, dengan menafsirkan secara tepat makna keibuan ini, telah mengungkapan secara istimewa iman mereka akan keilahian Kristus dan akan kasih mereka kepada Santa Perawan.  

Di satu pihak, Gereja memaklumkan Theotokos sebagai jaminan atas realita Inkarnasi sebab - seperti dinyatakan St Agustinus - “jika Bunda fiktif, maka daging akan juga fiktif … dan merupakan corengan terhadap Kebangkitan” (in evangelium Johannis tractatus, 8, 6-7). Di lain pihak, Gereja juga mengkontemplasikan dengan penuh kekaguman dan merayakannya dengan penghormatan anugerah agung luhur yang dianugerahkan kepada Bunda Maria oleh Ia yang menghendaki untuk menjadi Putranya. Ungkapan “Bunda Allah” juga menunjuk pada Sabda Allah, yang dalam Inkarnasi merendahkan diri dalam rupa manusia guna meninggikan manusia sebagai anak-anak Allah. Tetapi dalam terang martabat luhur yang dianugerahkan kepada Perawan dari Nazaret, gelar ini juga memaklumkan kemuliaan perempuan dan panggilannya yang luhur. Sesungguhnya, Tuhan memperlakukan Bunda Maria sebagai pribadi yang bebas dan bertanggung jawab dan tidak mewujud-nyatakan Inkarnasi PutraNya hingga setelah Ia memperoleh kesediaannya.

Mengikuti teladan umat Kristiani perdana dari Mesir, kiranya umat beriman mempercayakan diri kepada dia yang, sebagai Bunda Allah, dapat memperolehkan dari Putra Ilahinya rahmat pembebasan dari yang jahat dan keselamatan kekal.


sumber : Church Proclaims Mary 'Mother of God'” Pope John Paul II; Copyright © 1997 Catholic Information Network (CIN) - 04-14, 2003; www.cin.org

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Catholic Information Network”

Katekese Tentang Imamat

oleh: St. Yohanes Maria Vianney
Imam dalam Konsekrasi

Anak-anakku, kita telah sampai pada Sakramen Imamat, yaitu sakramen yang tampaknya tidak ada sangkut pautnya dengan satu pun di antara kalian, namun demikian sesungguhnya sakramen ini menyangkut semua orang. Sakramen Imamat menaikkan manusia hingga sampai pada Tuhan. Betapa luar biasanya seorang imam! Seseorang yang menduduki tempat Tuhan - seseorang yang diperlengkapi dengan segala kuasa Allah. “Pergilah,” demikian sabda Kristus kepada para imam, “sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu. Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi, karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku…Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku.” Ketika seorang imam mengampuni dosa, ia tidak mengatakan, “Tuhan mengampuni dosa-dosamu”; ia mengatakan “Saya mengampuni dosa-dosamu”. Pada saat Konsekrasi, imam tidak mengatakan, “Inilah Tubuh Kristus”; ia mengatakan, “Inilah Tubuh-Ku”.

St. Bernardus mengatakan bahwa segala sesuatu kita peroleh melalui Maria; kita juga boleh mengatakan bahwa segala sesuatu kita peroleh melalui imam. Ya, segala sukacita, segala rahmat, segala karunia surgawi. Seandainya kita tidak memiliki Sakramen Imamat, kita tidak akan memiliki Kristus. Siapakah yang menempatkan Ia di sana, dalam tabernakel? Imam. Siapakah yang menerima jiwamu pada saat jiwamu memasuki kehidupan? Imam. Siapakah yang memberi jiwamu makanan, memberinya kekuatan agar mampu menyelesaikan ziarahnya? Imam. Siapakah yang mempersiapkan jiwamu agar layak di hadapan Tuhan dengan membasuhnya, pada saat terakhir, dalam Darah Yesus Kristus? Imam - selalu imam. Dan apabila jiwamu sampai pada ajalnya, siapakah yang akan membangkitkannya, yang mohon agar jiwamu beristirahat dalam tenang dan damai? Sekali lagi imam. Kamu tidak akan dapat memikirkan satu berkat pun dari Tuhan tanpa sekaligus memikirkan juga gambaran seorang imam.

Pergilah mengaku dosa kepada Bunda Maria, atau kepada seorang malaikat; apakah mereka akan mengampuni dosa-dosamu? Tidak. Apakah mereka akan memberimu Tubuh dan Darah Kristus? Tidak. Santa Perawan tidak dapat menghadirkan Putra Ilahinya dalam Hosti. Mungkin kamu ada bersama dua ratus orang malaikat, tetapi mereka tidak dapat mengampuni dosa-dosamu. Tetapi imam, betapa pun sederhananya dia, mempunyai kuasa untuk melakukannya; ia dapat mengatakan kepadamu, “Pergilah dalam damai; saya mengampuni dosa-dosamu”. Oh, betapa mengagumkannya seorang imam! Imam sendiri tidak akan mampu memahami betapa besar kuasa yang diberikan kepadanya hingga ia tiba di surga kelak. Jika saja ia mampu memahaminya di dunia ini, ia akan mati, bukan karena ketakutan, melainkan karena cinta.

Rahmat-rahmat Tuhan lainnya tak akan ada gunanya bagi kita tanpa imam. Apakah gunanya sebuah rumah penuh emas berlimpah, jika tak ada seorang pun yang membukakan pintunya bagimu! Imam memiliki kunci harta pusaka surgawi; imamlah yang membukakan pintunya bagimu; imam adalah pelayan Allah yang baik, penyalur harta kekayaan-Nya. Tanpa imam, Wafat dan Sengsara Tuhan kita Yesus Kristus tak akan ada artinya sama sekali. Lihat orang-orang tak ber-Tuhan itu; apakah gunanya Kristus telah wafat bagi mereka? Sayang sekali! Mereka tidak mendapat bagian dalam rahmat Penebusan; mereka tidak mempunyai imam yang membasuh jiwa-jiwa mereka dengan Darah-Nya!

Seorang imam bukanlah imam bagi dirinya sendiri; ia tidak dapat mengampuni dirinya sendiri; ia tidak dapat menerimakan sakramen-sakramen pada dirinya sendiri. Seorang imam bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan untukmu. Sesudah Tuhan, imam adalah segalanya. Biarkan suatu paroki tanpa imam selama dua puluh tahun; maka umat akan menyembah berhala. Apabila Pastor misionaris dan saya hendak pergi, kalian akan mengatakan, “Apa yang dapat kami lakukan di gereja? Tidak ada Misa; Tuhan tidak lagi ada di sana; lebih baik kami berdoa saja di rumah.” Jika orang hendak membinasakan agama Katolik, mereka akan mulai dengan menyerang para imam, sebab jika tidak ada lagi imam, tidak akan ada lagi kurban, dan jika tidak ada lagi kurban, tidak akan ada lagi agama.

Ketika lonceng gereja berdentang memanggilmu ke gereja dan orang bertanya, “Ke manakah engkau hendak pergi?” Kamu akan menjawab, “Aku pergi untuk memberi makan jiwaku.” Dan apabila orang bertanya kepadamu sambil menunjuk tabernakel, “Tempat apakah pintu emas itu?” “Itulah tempat penyimpanan kami, di mana Santapan sejati bagi jiwa kami disimpan.” “Siapakah yang memiliki kuncinya? Siapakah yang menyimpan makanannya? Siapakah yang mempersiapkan perjamuannya, dan siapakah yang melayani perjamuan?” “Imam.” Dan apakah Santapannya?” “Tubuh dan Darah Kristus yang mulia” Oh, Tuhan! Oh, Tuhan! Betapa Engkau telah mengasihi kami! Lihatlah kuasa yang diberikan kepada imam; dengan perkataan seorang imam, sekeping roti diubah menjadi Tuhan. Hal ini lebih dahsyat daripada penciptaan dunia! Seorang bertanya, “Apakah jika demikian St. Philomena taat pada Imam dari Ars?” “Tentu saja, St. Philomena pasti taat padanya, karena Tuhan sendiri taat padanya.”

Jika aku berjumpa dengan seorang imam dan seorang malaikat, sudah sepatutnya aku memberi salam terlebih dahulu kepada imam sebelum aku memberi salam kepada malaikat. Malaikat adalah sahabat Tuhan; tetapi imam menduduki tempat-Nya. St. Theresia mencium tanah di mana seorang imam baru saja lewat. Apabila kamu berjumpa dengan seorang imam, katakanlah, “Inilah dia yang menjadikan aku anak Allah, yang membukakan pintu Surga bagiku dengan Sakramen Baptis yang kudus; yang menyucikan aku setelah aku berdosa; yang memberikan makanan bagi jiwaku.” Sementara memandang menara gereja, katakanlah, “Apakah itu yang ada di sana?” “Tubuh Kristus” “Mengapakah Ia di sana?” “Karena seorang imam ada di sana dan mempersembahkan Misa Kudus”.

Betapa sukacita memenuhi hati para rasul setelah Kebangkitan Kristus, saat mereka melihat Tuhan yang sangat mereka kasihi! Seorang imam pastilah merasakan sukacita yang sama, saat ia melihat Tuhan yang ia pegang dengan tangannya. Penghargaan tinggi diberikan pada benda-benda yang diletakkan dalam piala minum Santa Perawan dan Kanak-kanak Yesus di Loretto. Tetapi jari-jari imam, yang menyentuh Tubuh Yesus Kristus yang kita agungkan, yang menggenggam piala berisi Darah-Nya, yang mengunjukkan patena di mana Tubuh-Nya ditempatkan, tidakkah jauh lebih berharga? Imam adalah jantung Hati Yesus. Jika kamu melihat seorang imam, pikirkanlah Tuhan kita Yesus Kristus.

sumber : Catechism on the Priesthood by Saint John Vianney; www.catholic-forum.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

Bersepeda Bersama Yesus

Pada awalnya, aku memandang Tuhan sebagai seorang pengamat; seorang hakim yang mencatat segala kesalahanku, sebagai bahan pertimbangan apakah aku akan dimasukkan ke surga atau dicampakkan ke dalam neraka pada saat aku mati. Dia terasa jauh sekali, seperti seorang raja. Aku tahu Dia melalui gambar-gambar-Nya, tetapi aku tidak mengenal-Nya.

Ketika aku bertemu Yesus, pandanganku berubah. Hidupku menjadi bagaikan sebuah arena balap sepeda, tetapi sepedanya adalah sepeda tandem, dan aku tahu bahwa Yesus duduk di belakang, membantu aku mengayuh pedal sepeda.

Aku tidak tahu sejak kapan Yesus mengajakku bertukar tempat, tetapi sejak itu hidupku jadi berubah. Saat aku pegang kendali, aku tahu jalannya. Terasa membosankan, tetapi lebih dapat diprediksi … biasanya, hal itu tak berlangsung lama. Tetapi, saat Yesus kembali pegang kendali, Ia tahu jalan yang panjang dan menyenangkan. Ia membawaku mendaki gunung, juga melewati batu-batu karang yang terjal dengan kecepatan yang menegangkan. Saat-saat seperti itu, aku hanya bisa menggantungkan diriku sepenuhnya pada-Nya! Terkadang rasanya seperti sesuatu yang 'gila', tetapi Ia berkata, “Ayo, kayuh terus pedalnya!”

Aku takut, khawatir dan bertanya, “Aku mau dibawa ke mana?” Yesus tertawa dan tak menjawab, dan aku mulai belajar percaya. Aku melupakan kehidupan yang membosankan dan memasuki suatu petualangan baru yang mencengangkan. Dan ketika aku berkata, “Aku takut!” Yesus menurunkan kecepatan, mengayuh santai sambil menggenggam tanganku.

Ia membawaku kepada orang-orang yang menyediakan hadiah-hadiah yang aku perlukan … orang-orang itu membantu menyembuhkan aku, mereka menerimaku dan memberiku sukacita. Mereka membekaliku dengan hal-hal yang aku perlukan untuk melanjutkan perjalanan … perjalananku bersama Tuhanku. Lalu, kami pun kembali mengayuh sepeda kami.

Kemudian, Yesus berkata, “Berikan hadiah-hadiah itu kepada orang-orang yang membutuhkannya; jika tidak, hadiah-hadiah itu akan menjadi beban bagi kita.” Maka, aku pun melakukannya. Aku membagi-bagikan hadiah-hadiah itu kepada orang-orang yang kami jumpai, sesuai kebutuhan mereka. Aku belajar bahwa ternyata memberi adalah sesuatu yang membahagiakan.

Pada mulanya, aku tidak ingin mempercayakan hidupku sepenuhnya kepadaNya. Aku
takut Ia menjadikan hidupku berantakan; tetapi Yesus tahu rahasia mengayuh sepeda. Ia tahu bagaimana menikung di tikungan tajam, Ia tahu bagaimana melompati batu karang yang tinggi, Ia tahu bagaimana terbang untuk mempercepat melewati tempat-tempat yang menakutkan. Aku belajar untuk diam sementara terus mengayuh … menikmati pemandangan dan semilir angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahku selama perjalanan bersama Sahabatku yang setia: Yesus Kristus.

Dan ketika aku tidak tahu apa lagi yang harus aku lakukan, Yesus akan tersenyum dan berkata … “Mengayuhlah terus, Aku bersamamu.”
sumber : Thoughts for the day, 19 Feb 2003 by Chuck Ebbs
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

Anjing Religius Ikut Misa Tiap Pekan


Ini kisah tentang seekor anjing yang religius. Adalah Preta, seekor anjing di Portugal, sanggup berjalan menempuh jarak 26 kilometer setiap minggu untuk bisa mengikuti misa (kebaktian).

Setiap hari Minggu selama tiga tahun terakhir ini, Preta, jenis anjing Pooch yaitu jenis anjing yang bertubuh tambun dan pendek serta berhidung pesek, pergi meninggalkan rumah tuannya di sebuah kota di daerah Sobrado, bagian utara Portugal, pada jam 5 pagi.

Begitu dilaporkan harian Correeio da Manha awal pekan ini. Bekas anjing jalanan ini berjalan sendirian menuju ke sebuah gereja di daerah kawasan Ermesinde untuk menghadiri misa pada pukul 07:30 dan berada di tempat favoritnya di dalam gereja yakni di samping altar. Pada saat jemaat berdiri atau duduk, Preta juga melakukan hal yang serupa. Ketika misa usai biasanya ia kembali pulang berjalan kaki, namun kadangkala ia ikut menumpang pulang naik mobil orang-orang yang dikenalnya. Jumlah jemaat gereja tersebut saat ini meningkat karena banyak orang yang ingin melihat kehadiran anjing tersebut. (Ant, Rtr)


Sumber: Harian Surabaya Post, Rabu, 11 Juli 2001, halaman 5

Membuka Helai-Helai Mawar

Kuncup mawar
Hanyalah kuncup mawar mungil,
sekuntum bunga indah ciptaan Tuhan;
namun demikian, aku tak dapat membuka helai-helai bunganya,
dengan tangan-tanganku yang kikuk dan canggung.

Rahasia membuka helai-helai bunga,
aku tak mengetahuinya;
Tuhan membuatnya mekar menakjubkan,
sementara di tangan-tanganku, ia layu lalu mati.

Jika aku tak dapat membuka helai-helai kuncup mawar,
bunga indah ciptaan Tuhan,
bagaimana mungkin aku berpikir bahwa aku memiliki kebijaksanaan,
untuk membuka lembar-lembar hidupku?

Jadi, aku mengandalkan bimbingan-Nya,
setiap saat, setiap hari;
aku datang mohon tuntunan-Nya,
dalam setiap langkah melewati jalan ziarah.

Jalan yang terbentang di hadapanku,
hanya Bapa Surgawi yang tahu;
aku mengandalkan-Nya untuk membuka lembar-lembar waktuku,
seperti Ia membuka helai-helai mawar.(Yesaya.indocell.net)

Siapakah Para Majus ?

oleh: P. William P. Saunders *

Injil Matius menyebut tentang para majus yang datang dari Timur untuk menyembah bayi Kristus yang baru dilahirkan (bdk. Mat 2:1-12). Tetapi, tepatnya siapakah para majus tersebut tetap merupakan suatu misteri.

Seringkali para majus disebut juga sebagai ahli perbintangan. Dalam bahasa Yunani, bahasa asli Injil, kata “magos” (magoi, jamak) mempunyai empat arti: (1) seorang dari golongan imam Persia kuno, di mana astrologi dan astronomi berperan penting pada masa Kitab Suci; (2) seorang yang memiliki pengetahuan dan kuasa gaib (= okultisme), dan mahir dalam menafsirkan mimpi, perbintangan, ramal, hal-hal klenik, dan perantara roh; (3) seorang ahli nujum; atau (4) seorang dukun, yang memeras orang dengan mempergunakan praktek-praktek di atas. Dari definisi yang mungkin di atas dan dari gambaran dalam Injil, para majus kemungkinan adalah para imam Persia ahli perbintangan yang dapat membaca bintang-bintang, teristimewa makna bintang yang mewartakan kelahiran Mesias. (Bahkan ahli sejarah kuno Herodotus (wafat abad ke-5 SM) menegaskan keahlian kaum imam Persia dalam perbintangan).            

Yang terpenting, kunjungan para majus menggenapi nubuat Perjanjian Lama: Bileam menubuatkan kedatangan Mesias yang akan ditandai dengan sebuah bintang: “Aku melihat dia, tetapi bukan sekarang; aku memandang dia, tetapi bukan dari dekat; bintang terbit dari Yakub, tongkat kerajaan timbul dari Israel…” (Bil 24:17). Mazmur 72 berbicara mengenai bagaimana bangsa kafir akan datang untuk menyembah Mesias: “kiranya raja-raja dari Tarsis dan pulau-pulau membawa persembahan-persembahan, kiranya raja-raja dari Syeba dan Seba menyampaikan upeti! Kiranya semua raja sujud menyembah kepadanya, dan segala bangsa menjadi hambanya!” (Mzm 72:10-11). Yesaya juga menubuatkan persembahan-persembahan: “Sejumlah besar unta akan menutupi daerahmu, unta-unta muda dari Midian dan Efa. Mereka semua akan datang dari Syeba, akan membawa emas dan kemenyan, serta memberitakan perbuatan masyhur TUHAN” (Yes 60:6).

St. Matius mencatat bahwa para majus membawa tiga persembahan; masing-masing persembahan memiliki makna nubuat: emas, persembahan bagi seorang raja; kemenyan, persembahan bagi seorang imam; dan mur - balsam penguburan, persembahan bagi seorang yang akan meninggal. St. Ireneus (wafat 202) dalam tulisannya Adversus haereses menyampaikan tafsiran atas persembahan emas, kemenyan dan mur sebagai berikut: Raja, Tuhan dan Penebus yang Menderita, juga menafsirkannya sebagai keutamaan, doa dan penderitaan.

Pada umumnya, kita berpikiran bahwa ketiga majus tersebut adalah tiga orang raja. Kita biasa menempatkan patung tiga raja di gua natal kita. Kita bahkan menyanyikan, “Kami tiga raja dari Timur….” Di sini, ketiga persembahan, Mazmur 72 dan bintang yang terbit di Timur secara bersama-sama menggambarkan para majus sebagai tiga raja yang datang dari Timur.

Sebenarnya, tradisi awali tidak konsisten mengenai jumlah para majus. Tradisi Timur menyebutkan ada duabelas orang majus. Di Barat, beberapa Bapa Gereja perdana - termasuk Origen, St. Leo Agung, dan St. Maximus dari Turin - setuju ada tiga orang majus. Lukisan Kristen Perdana di Roma yang diketemukan dalam makam St. Petrus dan St. Marcellinus menggambarkan dua orang majus dan di makam St. Domitilla, empat orang.

Sejak abad ketujuh di Gereja Barat, para majus diidentifikasikan sebagai Kaspar, Melkior dan Baltasar. Dalam suatu karya tulis berjudul Excerpta et Collectanea yang ditulis St. Beda (wafat 735) tercatat demikian, “Para majus adalah mereka yang membawa persembahan bagi Tuhan. Yang pertama dikatakan bernama Melkior, seorang tua berambut putih dan berjenggot panjang… yang mempersembahkan emas kepada Kristus bagai kepada seorang raja. Yang kedua bernama Kaspar, seorang muda tanpa jenggot dan kulitnya kemerah-merahan… menyembah-Nya sebagai Tuhan dengan persembahan kemenyan, suatu persembahan yang layak bagi yang ilahi. Yang ketiga, berkulit hitam dan berjenggot lebat, namanya Baltasar… dengan persembahan murnya memberikan kesaksian pada Putra Manusia bahwa ia akan wafat.” Suatu kutipan dari penanggalan para kudus abad pertengahan yang dicetak di Cologne berbunyi, “Setelah mengalami banyak pencobaan dan kelelahan demi Injil, ketiga orang bijaksana tersebut bertemu di Sewa (Sebaste di Armenia) pada tahun 54 untuk merayakan Natal. Kemudian, setelah Perayaan Misa, mereka wafat: St. Melkior pada tanggal 1 Januari, dalam usia 116 tahun; St. Baltasar pada tanggal 6 Januari, dalam usia 112 tahun; dan St. Kaspar pada tanggal 11 Januari, dalam usia 109 tahun.” Martirologi Romawi juga mencatat tanggal-tanggal di atas sebagai pesta masing-masing majus.

Kaisar Zeno membawa reliqui para majus dari Persia ke Konstantinopel pada tahun 490. Reliqui (entah sama atau serupa) muncul di Milano bertahun-tahun kemudian dan disimpan di Basilika St. Eustorgius. Kaisar Frederick Barbarossa dari Jerman, yang menjarah Italia, membawa reliqui ke Cologne pada tahun 1162, di mana reliqui aman tersimpan hingga saat ini dalam sebuah rumah reliqui yang indah di katedral.

Meskipun sebagian misteri tetap tak terungkap mengenai identitas para majus, Gereja menghormati sembah sujud mereka: Konsili Trente, ketika menekankan penghormatan yang patut diberikan kepada Ekaristi Kudus memaklumkan, “Umat beriman Kristus menghormati Sakramen Mahakudus ini dengan penyembahan latria yang diperuntukkan bagi Allah yang benar…. Sebab dalam sakramen ini kita percaya bahwa Allah yang sama hadir, yang diutus Bapa yang kekal ke dalam dunia dengan mengatakan, `Biarlah segenap malaikat Allah menyembah-Nya.' Dialah Allah yang sama yang para Majus sujud menyembah, dan akhirnya, Allah yang sama yang dipuja para Rasul di Galilea seperti dicatat dalam Kitab Suci” (Dekrit tentang Sakramen Mahakudus, 5).

Dengan merayakan Hari Raya Natal dan Epifani (sekarang Hari Raya Penampakan Tuhan), kita pun patut sadar akan kewajiban kita untuk bersembah sujud kepada Kristus melalui doa, sembah bakti, dan perbuatan-perbuatan baik serta kurban. St. Gregorius Nazianze (wafat 389) menyampaikan khotbahnya, “Marilah kita tinggal dalam sembah sujud; dan kepada Dia, yang, guna menyelamatkan kita, merendahkan Diri hingga ke tingkat kemiskinan yang begitu rupa dengan menerima tubuh kita, marilah kita mempersembahkan tidak hanya kemenyan, emas dan mur…, melainkan juga persembahan-persembahan rohani, yang lebih luhur daripada yang dapat dilihat dengan mata” (Oratio, 19).

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Who Were the Magi?” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald.  All rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Minggu, 30 Desember 2012

Santo Sylvester I



Paus St Sylvester hidup pada masa Gereja Perdana, yakni pada masa pemerintahan Kaisar Konstantinus. Sylvester I dinobatkan menjadi paus pada tahun 314 dan bertahta selama duapuluh satu tahun hingga wafatnya pada tahun 335.

Dikisahkan bahwa pada mulanya Konstantinus menganiaya Paus Sylvester dan umat Kristiani. Kemudian kaisar terjangkit penyakit kusta dan hendak menyelenggarakan suatu ritual kafir sebagai usaha mendapatkan kesembuhan. Ia begitu ingin sembuh. Konon Konstantinus mendapatkan mimpi di mana St Petrus dan St Paulus berbicara kepadanya. Mereka menyuruh kaisar pergi kepada Paus Sylvester untuk disembuhkan. Konstantinus memohon kepada paus agar ia dibaptis dan kaisar dibaptis di Basilika St Yohanes Lateran. Pada saat Pembaptisan, Kontantinus sama sekali disembuhkan dari penyakitnya. Sejak saat itu, Konstantinus tidak hanya mengijinkan agama Kristiani berkembang, malahan ia juga mendorongnya.

Devosi kepada Paus Sylvester I amat terkenal pada masa Gereja Perdana. Ia adalah paus pertama bukan martir yang dimaklumkan sebagai santo. Di Basilika St Yohanes Lateran di Roma terdapat suatu dinding berhiaskan mosaik yang sungguh indah, menggambarkan Yesus memberikan kunci-kunci kuasa rohani kepada Paus St Sylvester I.

Baiklah kita meluangkan waktu pada hari ini untuk mengenangkan begitu banyak rahmat istimewa yang kita terima sepanjang tahun ini. Bagaimanakah Tuhan telah menarikku untuk terlebih dekat kepada-Nya sepanjang masa-masa yang telah lewat itu?
 
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan sebagian / seluruh artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Pauline Books & Media.”

Martirium

oleh: P. William P. Saunders *

St. Polikarpus
St Polikarpus
St Ignatius dari Antiokhia


Katekismus menyatakan, “Martirium adalah kesaksian teragung yang dapat diberikan orang untuk kebenaran iman; itulah kesaksian sampai mati” (No. 2473). Daripada mengingkari imannya, seorang martir lebih suka memberikan kesaksian dengan kebesaran hati yang luar biasa akan keyakinan bahwa Kristus menderita sengsara, wafat dan bangkit dari antara orang mati demi keselamatan kita, dan akan kebenaran iman Katolik kita. Kata martir sendiri berarti “saksi”.

Kitab Suci mencatat kisah-kisah kepahlawanan baik dari laki-laki maupun perempuan yang lebih suka mati sebagai martir daripada mengingkari iman mereka atau tidak setia pada hukum Allah. Dalam Perjanjian Lama, Susana lebih suka mati daripada menyerahkan diri pada hasrat dosa kedua hakim yang fasik (Daniel 13). Yohanes Pembaptis menolak untuk berkompromi dengan kejahatan dan tak hentinya memaklumkan hukum Allah; hingga pada akhirnya ia “memberikan nyawanya sebagai saksi kebenaran dan keadilan” (Doa Pembuka pada Peringatan Wafatnya St Yohanes Pembaptis). St Stefanus, salah seorang dari para diakon pertama Gereja, adalah juga martir yang pertama (Kis 6:8dst), diikuti kemudian oleh Rasul St Yakobus Tua (Kis 12:2).

Kesaksian para martir ini menjadi satu dalam penglihatan apokaliptik Kitab Wahyu. St Yohanes melihat suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba. Dengan suara nyaring mereka berseru: “Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba!” Ketika ditanya, siapakah orang-orang itu, terdengar jawaban, “Mereka ini adalah orang-orang yang keluar dari kesusahan yang besar; dan mereka telah mencuci jubah mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba” (bdk Why 7:9-17).

Pemahaman spiritual yang mendasari tindakan martirium adalah pemahaman yang wajib diterima setiap umat Kristiani. Dalam mengajarkan syarat-syarat untuk menjadi seorang murid sejati, Tuhan kita menegaskan, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?” (Mat 16:24-26). Ya, setiap umat Kristiani harus siap memikul salib, bahkan jika itu berarti kehilangan nyawa di dunia ini.  

Dengan berbesar hati memikul salib, seorang Kristiani akan beroleh berkat dalam pandangan Tuhan. Dalam Sabda Bahagia, sikap hidup yang benar, yang mendatangkan rahmat persatuan dengan Tuhan, dinyatakan dalam Sabda Bahagia kedelapan, “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Lebih lanjut, Yesus mempertegasnya, “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.” Walau demikian, tujuan utamanya bukanlah sekedar menderita di sini dan sekarang ini demi iman, melainkan kebesaran hati dan ketekunan yang menghantar orang pada hidup yang kekal, “Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga” (bdk Mat 5:10-12).

Pemahaman spiritual ini dengan sangat indah diwujud-nyatakan dalam kesaksian iman para martir Gereja perdana pada masa penganiayaan oleh bangsa Romawi. Sebagai contoh, St Ignatius dari Antiokhia (wafat 110), yang adalah Uskup Antiokhia yang ketiga, penerus St Evodius (yang adalah penerus St Petrus Rasul), dan yang adalah murid St Yohanes Rasul, dijatuhi hukuman mati oleh Kaisar Trajan dengan dilemparkan ke arena sebagai mangsa binatang-binatang buas. Dalam perjalanan ke Roma di mana ia akan dieksekusi, ia menulis tujuh pucuk surat, termasuk satu surat kepada orang-orang Romawi, di mana ia merefleksikan mengenai hukuman mati yang menantinya, “Biarlah aku menjadi mangsa binatang-binatang buas, karena dengan demikian mungkinlah bagiku untuk sampai kepada Allah. Aku adalah gandum Tuhan, dan aku akan digiling dalam gigi bintang-binatang buas agar aku dapat menjadi roti Kristus yang murni.” Dan lagi “Segala ujung bumi dan segala kerajaan dunia ini tidak berguna sedikitpun bagiku. Lebih baiklah bagiku, mati untuk Kristus daripada hidup sebagai raja sampai ke ujung bumi. Aku mencari Dia yang sudah mati untuk kita; aku menghendaki Dia yang telah bangkit demi kepentingan kita. Saat kelahiranku sudah di ambang pintu” (epistula ad Romanos).

Suatu kesaksian iman luar biasa lainnya pada masa itu adalah kesaksian St Polikarpus, Uskup Smyrna, yang adalah sahabat St Ignatius dan yang adalah juga murid St Yohanes Rasul dan ditahbiskan sebagai uskup oleh St Yohanes. Karena menolak mempersembahkan kurban bagi dewa-dewa berhala Romawi dan menolak keallahan kaisar, St Polikarpus dijatuhi hukuman mati dengan dibakar di atas tiang pancang dalam usia delapanpuluh enam tahun, pada masa pemerintahan Kaisar Marcus Aurelius. Sementara tumpukan kayu hendak dinyalakan, St Polikarpus berdoa, “Aku bersyukur kepada-Mu karena telah menganggapku layak, dan memasukkanku ke dalam kelompok para saksi berdarah pada hari ini dan pada saat ini… Engkau memegang janji-Mu, Allah kesetiaan dan kebenaran. Untuk rahmat ini dan untuk segala sesuatu, aku memuji Engkau, aku memuliakan Engkau dan meluhurkan Engkau dengan pengantaraan Yesus Kristus, Imam Agung surgawi yang kekal, PutraMu yang kekasih. Dengan pengantaraan Dia, yang hidup bersama Engkau dan Roh Kudus, terpujilah Engkau sekarang dan selama-lamanya. Amin” (Martyrium Polycarpi).

Dalam membela martirium, Tertulianus (wafat 250) menulis dalam `Apologeticus', “Salibkan kami, aniaya kami, bunuh kami, binasakan kami. Kejahatanmu adalah bukti ketidakbersalahan kami, sebab itulah Tuhan membiarkan kami mengalami sengsara ini. Ketika baru-baru ini engkau menjatuhkan hukuman kepada seorang gadis Kristiani dengan menyerahkannya kepada seorang mucikari dan bukannya kepada seekor harimau, sesungguhnya engkau menyadari dan mengakui secara terbuka bahwa bagi kami, suatu noda dalam kemurnian kami jauh lebih menakutkan daripada hukuman apapun dan lebih mengerikan daripada maut. Walau demikian, kekejianmu yang dahysat itu tak menghasilkan apa-apa; malahan merupakan suatu umpan bagi agama kami. Semakin kami ditebas olehmu, semakin menjadi banyaklah jumlah kami. Darah para martir adalah benih Kristiani.”

Tak diragukan lagi, walau dianiaya dengan hebat, Gereja terus bertahan dan berkembang, teristimewa dengan ditopang oleh kesaksian para saksi iman yang gagah berani dan doa-doa para martir yang kudus. Dalam Anjuran Apostolik “Gereja di Asia”, Paus Yohanes Paulus II memberikan perhatian pada penganiayaan Gereja, dan dengan menggemakan kembali seruan Tertulianus, beliau memaklumkan, “Semoga mereka berdiri tegak sebagai saksi-saksi kebenaran yang tak terkalahkan akan kebenaran, bahwa umat Kristiani selalu dan di mana-mana dipanggil untuk mewartakan tidak lain kecuali kuasa Salib Tuhan! Dan semoga darah para martir Asia sekarang seperti senantiasa merupakan benih hidup baru bagi Gereja di setiap penjuru benua!” (No. 49).

Bapa Suci Yohanes Paulus II senantiasa memberikan perhatian besar pada kesaksian para martir Gereja kita, teristimewa mereka yang wafat pada abad ini, khususnya selama masa penganiayaan yang dilancarkan oleh Nazi dan Komunis. Setiap benua telah dibasahi oleh darah para martir. Bapa Suci menerangkan martirium sebagai “bukti yang paling cemerlang bagi kebenaran iman; sebab iman dapat memberi wajah manusiawi bahkan kepada peristiwa-peristiwa maut yang penuh kekerasan, dan menunjukkan keindahannya bahkan di tengah pelbagai penganiayaan yang paling mengerikan” (Incarnationis Mysterium, No. 13).

Menurut Sri Paus, “bukti iman” ini membuktikan tiga hal. Pertama, martirium merupakan penegasan bahwa tatanan moral tidak boleh dilanggar - baik kebenaran dan kekudusan hukum Allah, maupun martabat pribadi manusia. Kedua, martirium merupakan suatu pujian dari suatu “kemanusiaan” yang sempurna dari seseorang serta pujian terhadap “hidup” sejati. Di sini, Bapa Suci mengutip pernyataan St Ignatius dari Antiokhia, “Saudara-saudara, berbelaskasihanlah padaku: jangan menghalangiku dari kehidupan; jangan menginginkan kematianku…. Biarkanlah aku sampai kepada cahaya yang murni; sekali sudah di sana aku akan sungguh-sungguh menjadi seorang manusia. Biarkan aku meneladani sengsara Tuhanku” (Ad Romanos). Ketiga, martirium merupakan suatu tanda yang menonjol dari kekudusan Gereja, dengan memberikan kesaksian sepenuhnya mengenai kebenaran. Singkat kata, “lewat contoh hidup mereka yang jelas dan menarik, yang sepenuhnya sudah diubah oleh cahaya kebenaran moral, para martir dan, pada umumnya, semua santo Gereja, menerangi tiap periode dalam sejarah dengan membangkitkan kembali kepekaan moralnya” (Cahaya Kebenaran, No. 93).

Sebab itu, sementara kita mendekati akhir tahun liturgi dan bersiap diri merayakan Hari Raya Tuhan kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam, baiklah kita memberikan perhatian pada para martir Gereja kita, oleh sebab kesaksian iman mereka menyemangati kita dan memberi kita pengharapan besar. Dengan rahmat Tuhan, kiranya kita boleh mempersembahkan diri pada Tuhan dan GerejaNya, dengan iman seperti yang mereka teladankan. Marilah mencamkan dalam hati kata-kata St Paulus ini, “Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr 12:1-2).


* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Church in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Understanding Martyrs” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Malaikat Agung dan Malaikat Pelindung

oleh: P. William P. Saunders *

Kitab Suci mencatat nama tiga malaikat yang adalah utusan utama Allah, yaitu St Mikhael, St Rafael, dan St Gabriel. Mereka disebut malaikat agung oleh karena peran penting mereka dalam rencana Allah. St Mikhael, yang namanya berarti, “siapa yang seperti Allah”, memimpin bala tentara malaikat yang mencampakkan setan dan para malaikat yang memberontak ke dalam neraka; pada akhir zaman, St Mikhael akan menghunus pedang keadilan guna memisahkan yang baik dari yang jahat (bdk Why 12:7dst). St Gabriel, yang namanya berarti, “kekuatan Allah” menyampaikan kabar kepada Santa Perawan Maria bahwa ia telah dipilih menjadi Bunda Sang Juruselamat (bdk Luk 1:26-38). St Rafael, yang namanya berarti “kesembuhan dari Allah”, menyembuhkan mata Tobit yang buta (bdk Tobit 5).

Para malaikat adalah juga pelindung kita. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan, “Sejak masa anak-anak sampai pada kematiannya malaikat-malaikat mengelilingi kehidupan manusia dengan perlindungan dan doa permohonan” (No. 336). St Basilius (wafat 379) menegaskan, “Seorang malaikat mendampingi setiap orang beriman sebagai pelindung dan gembala, supaya menghantarnya kepada kehidupan” (Adversus Eunomium, III, 1). Sebagian besar dari kita, semenjak kecil telah belajar mendaraskan doa sederhana kepada malaikat pelindung kita, “Malaikat Allah, pelindungku tersayang, dengan perantaraan siapa kasih Allah dinyatakan kepadaku. Sejak saat ini dampingilah aku, untuk menerangi, melindungi, memimpin dan membimbingku.” Sebagian dari para kudus dapat melihat malaikat, seperti St Petrus (Kis 12:1-19), atau melihat malaikat pelindung mereka, seperti St Padre Pio dan St Elizabeth dari Hungaria.

Di samping itu, sebagai umat Katolik, kita ingat peran penting St Mikhael dalam membela kita melawan setan dan kuasa-kuasa jahat. Di penghujung abad ke-19, Paus Leo XIII (wafat 1903) mendapat penglihatan yang menubuatkan datangnya abad penderitaan dan perang. Dalam penglihatan tersebut, Tuhan mengijinkan setan memilih suatu abad di mana ia boleh melancarkan serangan-serangannya yang paling dahsyat melawan Gereja. Iblis memilih abad ke-20. Bapa Suci begitu tergerak hatinya oleh penglihatan ini hingga beliau menyusun suatu doa kepada Malaikat Agung St Mikhael, “Malaikat Agung St. Mikhael, belalah kami dalam peperangan. Jadilah pelindung kami dalam melawan segala kejahatan dan jebakan setan. Kami mohon dengan rendah hati agar Allah menaklukkannya, dan engkau, O panglima balatentara surgawi, dengan kuasa Ilahi, usirlah ke neraka setan dan semua roh jahat yang berkeliaran di seluruh dunia yang hendak menghancurkan jiwa-jiwa. Amin.” Selama bertahun-tahun, doa ini didaraskan pada akhir Misa Kudus guna menumbangkan komunisme. Segenap umat beriman sepatutnya kembali berseru memohon pertolongan St Mikhael dalam memberantas kejahatan-kejahat dahsyat yang merajalela dalam dunia - aborsi, eutanasia, terorisme, pembantaian bangsa-bangsa tertentu, perkawinan sesama jenis, dan lain sebagainya.

Sebagai warga Gereja, kita menyadari peran serta para malaikat dalam kegiatan liturgi kita. Dalam Misa Kudus, pada bagian Prefasi sebelum Doa Syukur Agung, kita menggabungkan diri bersama segenap malaikat dan para kudus untuk melambungan madah pujian, “Kudus, kudus, kudus….” Dalam Doa Syukur Agung I, imam berdoa, “Allah yang Mahakuasa, utuslah malaikat-Mu yang kudus mengantar persembahan ini ke altar-Mu yang luhur.” Dalam Aklamasi Akhir Liturgi Pemakaman, imam berdoa, “Kiranya para malaikat menghantarmu ke dalam Firdaus; kiranya para martir datang menyambutmu dan membawamu ke kota suci, Yerusalem baru yang abadi.” Di samping itu, dalam penanggalan liturgi kita merayakan Pesta Para Malaikat Agung pada tanggal 29 September dan Pesta Para Malaikat Pelindung pada tanggal 2 Oktober.

Dalam doa-doa dan aktivitas harian kita, sepatutnyalah kita ingat akan para utusan Allah ini yang oleh karena kasih-Nya melindungi hidup kita dari malapetaka dan membimbing kita di jalan keselamatan.


* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Archangels and Guardian Angels” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.

Jumat, 28 Desember 2012

Jenazah Yang Tak Rusak

oleh: P. William P. Saunders *

Jenazah Beato Paus Yohanes XXIII

Herald edisi 29 Maret 2001 melaporkan bahwa jenazah Paus Yohanes XXIII tidak mengalami kerusakan, tetapi kemudian timbul perdebatan mengenai apakah hal ini merupakan tanda kekudusannya atau hanya sekedar akibat metode pengawetan biasa. Dapatkah dijelaskan lebih lanjut mengenai hal ini?
~ seorang pembaca di Alexandria


Pada tanggal 16 Januari 2001, Kardinal Sodano, Sekretaris Negara Tahta Suci; Kardinal Noe, Imam Agung Basilika St Petrus; dan Leonardo Sandri, membuka makam Beato Paus Yohanes XXIII yang dibeatifikasi pada tanggal 3 September 2000. (Beliau wafat pada tanggal 3 Juni 1962.) Identifikasi jenazah merupakan bagian dari prosedur normal kanonisasi. Jenazah B Paus Yohanes XXIII hendak dipindahkan dari makam yang sekarang di ruang bawah tanah St Petrus ke suatu makam baru di atas, dalam basilika itu sendiri, di altar yang dipersembahkan demi menghormati St Hieronimus. Paus Yohanes Paulus II menginstruksikan pemindahan tersebut guna menegaskan kekudusan paus pendahulunya itu dan guna memungkinkan umat beriman dapat lebih mudah menghormatinya.

Ketika peti jenazah dibuka, Kardinal Noe mengatakan bahwa wajah B Paus Yohanes XXIII tampak “utuh dan damai”. Laporan resmi menyatakan, “Begitu kain selubung dibuka, wajah beato tampak utuh, dengan kedua mata tertutup dan mulut sedikit terbuka, dengan roman muka yang segera mengingatkan orang pada penampilan familiar paus yang dihormati itu.” Kedua tangan Bapa Suci, yang masih menggenggam sebuah rosario, juga masih utuh.

Pemeriksaan yang demikian merupakan langkah penting yang perlu dilakukan dalam proses kanonisasi. Kardinal Prospero Lambertini (yang dikemudian hari menjadi Paus Benediktus XIV, 1675-1758) menulis lima jilid buku berjudul De Beatificatione Servorum Dei et de Beatorum Canonizatione di mana ia menuliskan dua bab, De Cadaverum Incorruptione. Karya ini tetap merupakan referensi klasik dalam perkara demikian. Jenazah yang tak rusak merupakan sesuatu yang luar biasa dan karenanya jenazah yang tidak mengalami proses pengawetan, namun tetap mempertahankan rona, kesegaran dan kelenturan seolah hidup setelah bertahun-tahun kematian, merupakan suatu mukjizat. Secara spiritualitas, tanda demikian merupakan indikasi bahwa jenazah orang tersebut dipersiapkan untuk kebangkitan tubuh dengan mulia.

Bersamaan dengan incorruptibilitas (= keadaan jenazah yang tak rusak) adalah tanda “harum surgawi”, suatu fenomena di mana jenazah atau makam seorang kudus memancarkan bau harum semerbak. Dalam Perjanjian Lama, bau wangi-wangian dipergunakan untuk menyatakan bahwa seseorang berkenan kepada Allah dan kudus dalam pandangan-Nya. Biasanya, bau harum ini khas dan tak dapat diperbandingkan dengan wangi-wangian apapun. Kardinal Lambertini mengatakan bahwa dalam kasus tubuh yang mati, nyaris tak mungkin ia tidak memancarkan bau busuk, lebih tak masuk akal lagi jika jenazah memancarkan bau harum. Sebab itu, bau harum yang terpancar tersebut pastilah berasal dari suatu kuasa adikodrati dan karenanya dianggap sebagai mukjizat. Walau demikian, perlu dicatat, bahwa iblis pun dapat membuat “bau harum mewangi”; jadi tanda ini harus dipertalikan dan didukung dengan kekudusan hidup orang yang meninggal tersebut secara keseluruhan.

Dalam mempertimbangkan fenomena ini, faktor-faktor lain harus diperhitungkan juga. Sebagai contoh, jenazah Beato Paus Yohanes XXIII ditempatkan dalam suatu peti pualam yang terdiri dari tiga peti - satu dari kayu oak, satu dari timah dan satu dari cypress (semacam kayu cemara). Walau jenazahnya tidak diawetkan, namun jenazah telah disemprot dengan bahan-bahan kimia agar dapat dipertontonkan sebelum dimakamkan. Nazareno Gabrielli, seorang tenaga ahli dari Vatican Museums, mengatakan, “Ketika beliau wafat, diambil langkah-langkah agar jenazah dapat dipertontonkan untuk dihormati oleh umat beriman. Jangan dilupakan juga bahwa jenazah dimasukkan dalam tiga peti, di mana salah satunya disegel dengan timah.” Sebab itu, kemungkinan sedikit oksigen menembus ke dalam peti mati dan mempengaruhi jenazah. (Setelah jenazah diperiksa secara resmi, jenazah disemprot dengan bahan anti-bakteri, dan peti disegel kedap udara).

Pada pokoknya, jenazah yang tak rusak merupakan tanda kekudusan hidup seseorang. Jenazah St Bernadette Soubirous (1844-1879) dan St Katarina Laboure (1806-1876) juga tetap tak rusak hingga kini, walau jenazah mereka tidak diawetkan dan tidak terlindung dari berbagai macam unsur selama bertahun-tahun sebelum makam mereka digali kembali. Karenanya, orang dapat melihat dengan pasti bagaimana tangan Tuhan bekerja dalam memelihara jenazah Beato Paus Yohanes XXIII; juga yang mengagumkan adalah bagaimana beliau melewatkan masa hidupnya dengan hidup kudus.


* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College in Alexandria and pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: The Debate Over Incorruptibility” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2001 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”